Pages

Senin, 04 Maret 2013

3 TEORI QODHO DAN QODHAR


Jabariyah
1.      Asal-Usul Pertumbuhan Jabariyah
Kata Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Di dalam Al-Munjid, menjelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Lebih lanjut Asy-Syahratsani menegaskan bahwa paham al-jabr berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah. Dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam bahasa Inggris, Jabariyah disebut fatalism atau predestination, yaitu faham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai asal-usul kemunculan dan perkembangan Jabariyah, perlu dijelaskan mengenai orang yang melahirkan dan menyebarluaskan faham al-jabar dan dalam situasi apa saja faham ini muncul. Faham al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham, kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Namun, dalam perkembangannya, faham al-jabar juga dikembangkan oleh tokoh lainnya di antaranya Al-Husain bin Muhammad An-Najjar dan Ja’d bin Dirrar.
Mengenai kemunculan faham al-jabar ini, para ahli sejarah pemikiran mengkajinya melalui pendekatan geokultural bangsa Arab. Di antara ahli yang dimaksud adalah Ahmad Amin. Ia menggambarkan bahwa kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir Sahara memberikan pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka. Kerasnya keadaan gurun pasir inilah yang membawa mereka kepada sikap fatalism.
Berkaitan dengan kemunculan aliran Jabariyah, ada yang mengatakan bahwa kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab Qurra dan agama Kristen yang bermazhab Yacobit. Namun, tanpa pengaruh asing itu, faham al-jabar akan muncul juga di kalangan umat Islam. Di dalam Al-Qur’an sendiri terdapat ayat-ayat yang dapat menimbulkan faham ini, misalnya:
Artinya:  “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. (QS. Ash-Shaffat/37: 96)
Artinya:  “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (Tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan Telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”. (QS. Al-Hadid/57: 22)
Artinya:  “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Insan/76: 30)
Ayat-ayat di atas terkesan membawa seseorang pada alam pikiran Jabariyah. Mungkin inilah yang menyebabkan pola pikir Jabariyah masih tetap ada di kalangan umat Islam hingga kini walaupun anjurannya telah tiada.
2.      Para Tokoh Jabariyah dan Doktin-Doktrinnya
Menurut Asy-Syahratsani, Jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, ekstrim dan moderat. Di antara tokoh Jabariyah ekstrim adalah sebagai berikut:
Ja’d bin Dirham
Al-Ja’d adalah seorang Maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di dalam lingkungan orang Kristen yang senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar di lingkungan pemerintah Bani Umayah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang kontroversial, Bani Umayah menolaknya. Kemudian Al-Ja’d lari ke Kufah dan di sana ia bertemu dengan Jahm, serta mentransfer pikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan.
Al-Ghuraby sebagaimana yang dikutib oleh Abdul Rozak menjelaskan doktrin pokok Ja’d sebagai berikut:
1)      Al-Qur’an itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatkan kepada Allah.
2)      Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat, dan mendengar.
3)      Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-segalanya.
Jahm bin Shafwan
Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham bin Shafwan. Ia berasal dari Khurasan, bertempat tinggal di Khuffah; ia seorang da’i yang fasih dan lincah (orator). Ia menjabat sebagai sekretaris Harits bin Surais, seorang mawali yang menentang pemerintah Bani Umayah di Khurasan. Ia ditawan kemudian dibunuh secara politis tanpa ada kaitannya dengan agama. Sebagai seorang penganut dan penyebar faham Jabariyah,  banyak usaha yang dilakukan Jahm yang tersebar ke berbagai tempat, seperti ke Tirmidz dan Balk.
Pendapat Jahm yang berkaitan dengan persoalan teologi adalah sebagai berikut:
1)      Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
2)      Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
3)      Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama dengan konsep iman yang dimajukan kaum Murji’ah.
4)      Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah Mahasuci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar, dan melihat.
Berbeda dengan Jabariyah ekstrim, Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab. Menurut faham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan.
Adapun tokoh-tokoh dari faham Jabariyah moderat adalah sebagai berikut:
An-Najjar
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjar (wafat 230 H). Para pengikutnya disebut An-Najjariyah atau Al-Husainiyah. Di antara pendapat-pendapatnya:
1)      Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu.
2)      Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.
Adh-Dhirar
Nama lengkapnya adalah Dhihar bin Amr. Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan Husein An-Najjar, yakni bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang. Manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya. Secara tegas Dhihar mengatakan bahwa satu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak hanya ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusia itu sendiri. Manusia turut berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Mengenai ru’yat Tuhan di akhirat, Dhihar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui indera keenam. Ia juga berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima setelah Nabi adalah ijtihad. Hadits ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.
C.     Qadariyah
1.      Asal-Usul Kemunculan Qadariyah
Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian terminologi, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya; Ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri.
Golongan Qadariyah ini beri’tikad bahwa pekerjaan manusia itu tidak ada sangkut pautnya dengan Tuhan Allah. Apa yang diperbuat manusia, tidak diketahui oleh Allah swt. sebelumnya; dan baru Allah swt. mengetahuinya setelah diperbuat oleh manusia. Allah sekarang tidak bekerja lagi, karena kodrat-Nya telah diberikan kepada manusia, dan Dia hanya melihat dan memperhatikan saja.
Kalau manusia mengerjakan perbuatan yang baik, maka ia akan diberi pahala oleh Allah, karena ia telah memakai kodrat yang telah diberikan Allah dengan sebaik-baiknya. Tetapi ia dihukum kalau kodrat yang diberikan oleh Allah kepadanya tidak dipakai menurut semestinya.
Dalam hal ini, Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pda qadar Tuhan. Sebutan ini diberikan kepada para pengikut faham qadar oleh lawan mereka dengan merujuk Hadits yang menimbulkan kesan negative bagi nama Qadariyah. Hadits itu berbunyi:
 اَلْقَدَرِيَّةُ مَجُوْسُ هذِهِ اْلأُمَّةِ
Artinya:  “Kaum Qadariyah adalah majusinya umat ini”.
2.   Para Tokoh Qadariyah dan Doktrin-Doktrinnya
Qadariyah muncul sekitar tahun 70 H/689 M. Sedangkan menurut Ahmad Amin, ada ahli teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama sekali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqy. Ma’bad adalah seorang taba’i yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasal Al-Basri. Adapun Ghailan adalah seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi maula Utsman bin Affan. Kedua tokoh Qadariyah di atas mati dibunuh, Ghailan dibunuh pada masa Hisyam ibn Abdul Malik dan Ma’bad  dibunuh karena dituduh terlibat dalam pemberontakan bersama dengan Abdurrahman Al-Asy’ats.
Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun, seperti yang dikutip Ahmad Amin, memberi informasi lain bahwa yang pertama sekali memunculkan faham Qadariyah adalah orang Irak yang semula beragama Kristen kemudian masuk Islam dan balik lagi ke agama Kristen. Dari orang inilah Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini.
Faham Qadariyah mendapat tantangan keras dari umat Islam ketika itu. Ada beberapa hal yang mengakibatkan terjadinya reaksi keras ini, pertama, seperti pendapat Harun Nasution, karena masyarakat Arab sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi oleh faham fatalis. Kehidupan bangsa Arab ketika itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan. Mereka merasa irinya lemah dan tak mampu menghadapi kesukaran hidup yang ditimbulkan oleh alam sekelilingnya. Faham itu terus dianut kendatipun mereka sudah beragama Islam. Karena itu, ketika faham Qadariyah dikembangkan, mereka tidak dapat menerimanya. Faham Qadariyah itu dianggap bertentangan dengan doktrin Islam.
Kedua, tantangan dari pemerintah ketika itu. Tantangan ini sangat mungkin terjadi karena para pejabat pemerintahan menganut paham Jabariyah. Selain itu, pemerintah menganggap gerakan faham Qadariyah sebagai suatu usaha menyebarkan faham dinamis dan daya kritis rakyat yang pada gilirannya mampu mengkritik dan menentang kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap tidak sesuai dan bahkan dapat menggulingkan mereka dari tahta kekuasaan.
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang doktrin Qadariyah, bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik atas kehendak maupun kekuasaannya sendiri dan manusia sendiri yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Salah seorang pemuka Qadariyah, yaitu An-Nazzam mengemukakan bahwa manusia hidup mempunyai daya atau kekuatan sendiri. Selagi hidup manusia mempunyai daya, ia berkuasa atas segala perbuatan yang ia lakukan.
Dari penjelasan yang ada dapat dipahami bahwa doktrin atau ajaran Qadariyah pada intinya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan atau kehendak untuk melakukan segala perbuatan atas kemauannya sendiri, baim perbuatan baik maupun perbuatan jahat. Oleh sebab itu, manusia berhak mendapat pahala atas kebaikannya dan berhak pula memperoleh hukuman atau dosa atas kejahatan yang diperbuatnya.
Dalam faham Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakannya bagi alam semesta beserta seluruh isinya sejak zaman azali, yaitu hukum yang dalam istilah Al-Qur’an adalah sunnatullah, bukan takdir secara mutlak bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu.
Dengan pemahaman seperti itu, kaum Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Gejala-gejala dari faham Qadariyah sekarang banyak kelihatan di Indonesia, umpamanya ada orang yang berkata:
  1. Bagaimanapun juga yang menentukan berhasil tidaknya suatu pekerjaan, pada akhirnya toh manusia itu sendiri.
  2. Tuhan Allah tidak bisa merubah nasib manusia, kalau tidak manusia itu sendiri yang merubah nasibnya.
  3. Perbuatan manusia itu dijadikan oleh manusia itu sendiri. Ini adalah faham dan I’tikad dari golongan Qadariyah.
Doktrin-doktrin Qadariyah di atas mempunyai tempat pijakan di dalam Al-Qur’an yang dapat mendukung pendapat mereka, yaitu QS Al-Kahfi ayat 29:
Artinya:  “Dan Katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir”. Sesungguhnya kami Telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.”(QS. Al-Kahfi/18: 29)
Artinya:  ”Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”(QS. Ar-Ra’d/13: 11)
artinya:   “Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat kami, mereka tidak tersembunyi dari kami. Maka apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka lebih baik, ataukah orang-orang yang datang dengan aman sentosa pada hari kiamat? perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”(QS. Fushilat/41: 40)
Melihat pada ayat-ayat di atas tentang dalil Qadariyah walaupun penganut-penganutnya telah meninggal tetap terdapat pemikiran dalam kalangan umat Islam. Dalam sejarah teologi Islam selanjutnya paham Qadariyah dianut oleh kaum Mu’tazilah. Sedang faham Jabariyah kendatipun tidak identik dengan faham yang dibawa Jahm ibn Shafwan atau An-Najjar dan Dhirar terdapat dalam aliran Asy’ariyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar