Pages

Jumat, 08 Maret 2013

MENGAGUNGKAN ALLAH SWT


Dalam al-Quran, Allah SWT menyatakan bahwa orang-orang yang menunaikan puasa di bulan Ramadhan dengan sebaik-baiknya akan menjelma menjadi manusia yang bertakwa (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 183).
Orang Mukmin yang bertakwa adalah orang yang tunduk pada semua aturan Allah, melaksanakan semua yang diperintahkan dan meninggalkan semua yang dilarang-Nya, serta mempersiapkan diri menyongsong tibanya Hari Kematian. Ketundukan seorang Mukmin kepada Allah merupakan implementasi dari rasa syukurnya kepada-Nya yang telah memberinya segala yang ia miliki, termasuk memberinya al-Quran sebagai petunjuk, penjelas, dan pembeda antara yang baik dan yang buruk; antara yang haq dan yang batil; antara yang terpuji dan yang tercela; serta antara jalan kebahagiaan dan jalan kecelakaan. (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 185).
Selanjutnya, Allah SWT juga berfirman:

]وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ[

Hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian supaya kalian bersyukur. (TQS al-Baqarah [2]: 185).

Melalui ayat ini Allah mengajarkan kepada kita bahwa setelah selesai menjalankan ibadah puasa, kita harus takbir atau mengagungkan Allah dan bersyukur kepada-Nya. Takbir artinya mengagungkan Allah dan mengecilkan apa saja selain Allah, sementara tasyakur artinya menggunakan seluruh anugerah Allah sesuai dengan kehendak-Nya.
Dalam ibadah shaum, takbir kita cerminkan dengan mengecilkan pengaruh hawa nafsu dan menghidupkan kebesaran Allah dalam hati kita. Ketika kita membaca al-Quran, kita mengecilkan seluruh pembicaraan manusia dan hanya membesarkan Kalamullah. Ketika kita berdiri shalat malam di bulan Ramadhan, kita mengecilkan seluruh urusan dunia ini dan hanya mengagungkan perintah Allah. Seluruh ibadah kita adalah dalam rangka mengagungkan Allah dan mengecilkan selain-Nya.
Setelah menyelesaikan seluruh ibadah ini, Allah masih juga memerintahkan kita untuk bertakbir. Bukankah dalam puasa kita sudah mengagungkan Allah? Bukankah dalam tarawih dan tadarus kita juga sudah mengagungkan Allah? Mengapa kita masih harus bertakbir lagi?
Allah tahu, kita sering bertakbir dalam ibadah-ibadah kita, tetapi sering bersikap takabur di luar itu. Kita mengagungkan Allah di masjid, tetapi di luar masjid kita mengagungkan yang lain. Kita mengagungkan kekayaan, kekuasaan, dan kedudukkan; kita juga membesarkan hawa nafsu, kepentingan, dan pikiran kita. Di atas tikar sembahyang, di masjid, di mushala, di tempattempat ibadah kita menggemakan takbir. Sebaliknya, di kantor, di pasar, di ladang, di tengah-tengah masyarakat kita menggemakan sikap takabur. 
Di kantor, misalnya, jabatan yang seharusnya kita gunakan untuk melayani rakyat, membela yang lemah, dan menyantuni yang memerlukan pertolongan kita manfaatkan untuk memperkaya diri  walaupun mengorbankan rakyat kebanyakan. 
Kita juga takabur ketika kita melakukan tindakan apa pun tanpa memperdulikan halal dan haram. Allah yang kita agungkan dalam shalat dan doa kita, kita kecilkan dalam hidup kita. Dalam puasa kita menahan diri untuk tidak memakan makanan dan minuman yang halal, tetapi kita berbuka dengan makanan dan minuman yang haram. Bibir kita kering karena kehausan, perut kita kempis karena kelaparan, tetapi tangan-tangan kita kotor karena kemaksiatan. Di masjid kita khusyuk melakukan shalat, tetapi di luar masjid kita sering asyik melakukan maksiat. Di masjid kita fasih melafalkan al-Quran, sementara di luar masjid kita lebih fasih lagi memperdayai al-Quran.
Satu-satunya jalan yang telah diberikan Allah kepada kita semua untuk senantiasa bisa menggemakan takbir dalam seluruh kehidupan kita adalah melalui pengamalan al-Quran. Sayang, petunjuk itu banyak diabaikan begitu saja oleh umat Islam. Soal ini, jauh hari sudah dikeluhkan oleh Nabi saw:

]وَقَالَ الرَّسُولُ يَارَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْءَانَ مَهْجُورًا[

Berkatalah Rasul, “Ya, Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan al-Quran ini suatu yang tidak diacuhkan.” (TQS al Furqan [25]: 30).

Mufasir ternama, Imam Ibn Katsir, dalam kitab Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, menyatakan bahwa siapa saja yang dibacakan kepadanya al-Quran, tetapi tidak mau mendengarkan dan membenarkan apa yang dikandungnya berarti ia telah tidak mengacuhkan al-Quran.  Begitu pula orang yang tidak mau mengambil hukum dari al-Quran, dan sebaliknya malah berhukum pada hukum thâghût baik yang diambil dari paham sekular Barat maupun dari tradisi atau kebiasaan nenek moyang. Padahal, secara i’tiqadî, siapa pun yang berpaling dari peringatan Allah dalam al-Quran dan as-Sunnah niscaya akan ditimpa kesengsaraan hidup.

﴿وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى﴾


Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta. (TQS Thaha [20]: 124).

Sejak awal, Allah telah memerintahkan kita untuk hanya mengikuti jalan-Nya, yaitu Dinul Islam, dan melarang kita untuk mengikuti jalan hidup lainnya. Dengan mengikuti jalan Islam, kita akan bersatu dan mendapatkan rahmat. Sebaliknya, dengan meninggalkan Islam kita pasti akan tercerai-berai dan hidup dengan penuh penderitaan.

]وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ[

Ini adalah jalan-Ku yang lurus. Karena itu, ikutilah jalan itu, dan janganlah mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan  itu akan menceraiberaikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian bertakwa. (TQS al-An‘am [6]: 153).

Karena tercerai-berai, umat Islam menjadisemakin lemah, terjajah, tidak mandiri dan senantiasa hidup dalam tekanan kekuatan asing yang memang ingin terus menerus menguasai negeri-negeri Islam. Dalam hal ini, Rasulullah saw., sebagaimana dituturkan Tsauban, bersabda:

«يُوْشَكُ اَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمُ اْلاُمَمُ كَمَا تَدَاعَى اْلاَكَلَّةَ عَلَى قَصْعَتِهَا»


Kelak, bangsa-bangsa lain akan memperebutkan kalian, sebagaimana (mereka) memperebutkan makanan untuk meremukannya. (HR Abu Dawud).
   
Kekuatan-kekuatan asing itu kini tampak tengah mencengkeramkan kakinya di hampir seluruh negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia. Dunia Islam adalah bagian dunia yang sangat kaya akan sumberdaya alam dan strategis dari sudut geopolitik. Pada saat yang sama, hegemoni AS atas Dunia Islam berpeluang untuk mendapatkan tantangan dari gerakan Islam. Karena itu, sebelum membesar, gerakan Islam harus dihancurkan lebih dulu. Untuk memberikan efek global, dirancanglah apa yang mereka sebut Perang Global Melawan Terorisme (the global war on terrorism). Melalui peristiwa 11 September  2001 tercipta stigma bahwa teroris adalah gerakan Islam, dan setiap teroris harus diberangus. Walhasil, perang melawan teroris tidak lain adalah perang melawan gerakan Islam.
Soal rencana memerangi gerakan Islam sesungguhnya sudah dicanangkan sejak sekitar 10 tahun yang lalu. Awal tahun 1992, Presiden Israel, Herzog, misalnya, di depan parlemennya pernah menyatakan, “Penyakit (Islam fundamentalis) sedang menyebar secara cepat dan merupakan sebuah bahaya tidak hanya untuk masyarakat Yahudi, tetapi juga bagi kemanusiaan secara umum.
Mantan PM Israel Simon Peres juga pernah menyatakan hal yang sama.
 Selanjutnya, pada 20 September 2001, beberapa hari pasca Peledakan WTC, di depan Kongres, Presiden Bush memberi ultimatum kepada dunia, “Setiap negara di mana pun harus memutuskan: Apakah akan bersama kami atau bersama teroris. Mulai hari ini, setiap negara yang terus mendukung teroris akan dianggap oleh AS sebagai rezim musuh.
Karena berkuasa, AS seolah boleh melakukan apa pun. AS boleh membunuhi siapa saja yang mereka suka.   Serangannya ke Afganistan yang jelas-jelas membunuh lebih dari 6000 warga sipil (dua kali lipat korban WTC) tidak dianggap sebagai tindakan teroris, tetapi dikatakan sebagai aksi balasan (retaliation act).
Di Indonesia, dalam kasus “Bom Bali”, jenis bom tidak tuntas diteliti, informasi-informasi yang mengindikasikan adanya skenario intelijen asing dalam peledakan Bali tidak diindahkan, tersangka hanya diarahkan ke dalam negeri, pesantren dicap sebagai sarang teroris, serta beberapa tokoh Islam ditangkap dan dibuat takut. Di Australia, umat Islam dari Indonesia digeledah.
Keadaan di negeri Muslim lain pun tidak jauh berbeda. Irak, misalnya, meski telah menerima resolusi PBB dan tim inspeksi senjata PBB, AS tetap berencana untuk menggempur negeri kaya minyak. Bila serangan ini benar-benar terjadi, niscaya yang bakal menjadi korban adalah juga kaum Muslim, Sementara itu, di Filipina, Rusia, Uzbekistan, Azarbeijan, Kyrgistan, Tajikistan, Pakistan, dan di hampir semua negara Timur Tengah dan Afrika Utara, aktivis gerakan-gerakan Islam terus ditangkapi. Pada saat yang sama, Israel dengan leluasa terus membunuhi warga Palestina dan menyerukan agar pendudukan Israel semakin diperluas. Aksi brutal Israel itu terus berlangsung nyaris tanpa perlawanan. Tidak pula ada cap teroris buat mereka. Para pengasa di negeri-negeri Muslim diam seribu bahasa, dan kita, umat Islam, hanya dapat mengelus dada. Umat Islam yang jumlahnya lebih dari 1,2 miliar bagaikan buih; banyak tetapi tak berdaya. Umat Islam juga bagaikan makanan yang dikerubuti dari berbagai penjuru oleh orang-orang lapar. Itulah kenyataan getir di hadapan kita.
Mengapa semua hal di atas bisa terjadi? Pertama, karena penguasa kaum Muslim di berbagai negeri Islam justru malah memberikan loyalitasnya kepada negara-negara kafir imperialis. Bertahun-tahun keadaan itu terus berlangsung dan hingga kini umat belum juga mampu menghentikannya. Akibat loyal kepada negara-negara kafir itu, muncul ketergantungan dan bahkan penjajahan. Alih-alih kesejahteraan yang diperoleh, justru nestapa rakyatlah yang ada. Selain itu, secara imâni, penyerahan loyalitas kepada kaum kafir memang hanya akan mendatangkan kenestapaan, penyesalan, dan kegagalan. (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 138–139).
Kedua, akibat ketakaburan umat Islam yang ditunjukkan dengan ditinggalkannya syariat Allah  SWT dan dicampakkannya keteladanan Rasul. Sikap ini menyebabkan kekuatan, kebesaran, kehormatan, dan kemuliaan Islam dan umatnya lenyap. Padahal sesungguhnya kehormatan, kewibawaan, kemuliaan, serta kekuatan Islam hanya mungkin didapat melalui penerapan dan ketundukan total pada syariat Allah. Allah SWT berfirman:

]وَِللهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لاَ يَعْلَمُونَ[

Padahal al-‘izzah (kekuatan, kebesaran, kehormatan, dan kemuliaan) itu hanyalah milik Allah, Rasul, dan kaum Mukmin. Namun, orang-orang munafik itu tiada mengetahuinya. (TQS al-Munafiqun [63]: 8).

Berdasarkan hal itu, agar umat Islam di seluruh dunia, khususnya di Indonesia, segera dapat lepas dari berbagai nestapa, marilah kita terus-menerus melakukan takbir di seluruh bagian dari kehidupan kita, di setiap saat dan tempat. Sebaliknya, marilah kita menjauhkan diri dari sikap takabur, yakni sikap sombong di hadapan Allah dengan mengabaikan firman-Nya, yaitu al-Quran.
Selain itu, kita juga harus bertasyakur  kepada Allah. Tasyakur yang benar adalah ketika kita menggunakan nikmat hidup kita untuk mengagungkan asma Allah, menjunjung tinggi syariat-Nya, dan menyayangi hamba-hamba-Nya.
Selain itu, ada beberapa hal penting yang juga harus kita dilakukan, antara lain:
1. Terus-menerus menumbuhkan kesadaran bahwa Islam adalah jalan hidup yang akan mengeluarkan seluruh manusia dari kegelapan dan segenap kerusakan hidup kepada cahaya serta kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
2. Terus-menerus menumbukan kesadaran bahwa musuh-musuh Islam selalu melakukan tipudaya untuk menghancurkan keagungan Islam dan memperdaya umatnya.
3. Menyatukan barisan kaum Muslim agar tidak mudah terprovokasi dan terpecah-belah oleh musuh serta terus menyuarakan penerapan syariat Islam melalui jalan damai. Diyakini hanya syariat Islam sajalah yang mampu mewujudkan kesejahteraan bagi semua umat manusia.
4. Menyatukan negeri-negeri Muslim dalam kesatuan Daulah Khilafah Islamiyah serta menyampaikan hidayah lewat dakwah dan jihad ke seluruh dunia.

Terakhir, mari kita renungkan firman Allah SWT berikut:

]يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللهُ إِلاَّ أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ() هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ[

Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut mereka, sedangkan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya walaupun orang-orang kafir tidak menyukainya. Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama/ideologi walaupun orang-orang musyrik tidak menyukainya. (TQS at-Taubah [9]: 32-33). []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar