Pages

Rabu, 29 Februari 2012

PANTAI GADING, NEGERI MUSLIM YANG TERLUPAKAN

Ketika kita mendengar negara Pantai Gading, langsung terbayang sebuah negara di Afrika yang yang terus dilanda konflik berkepanjangan. Pantai Gading atau Ivory Coast atau Cote d’Ivoire (bahas Prancis) sebuah negara kaya, penghasil coklat terbesar di dunia, berbatasan dengan banyak negara, antara lain Burkina Faso, Mali, Guinea, Liberia dan Ghana.
Memang benar, inilah negara Afrika yang terus bertikai. Bayangkan hanya dalam sepekan dalam bulan April 2011, 800 orang terbunuh. Selama sepekan, tentara pendukung Quattara menghadapi perlawanan sengit dari pasukan Laurent Gbagbo di kota utama Pantai Gading, Abidjan. Pada bulan Maret 2011 menurut Badan pengungsi PBB, sekitar satu juta orang telah melarikan diri dari rumah mereka karena kekerasan setelah pemilihan presiden yang dipersengketakan.
Konflik di Pantai Gading yang terletak di pantai Atlantik, teluk Guinea, Afrika Barat ini telah berlangsung lama, terutama antara komunitas Islam dan Kristen. Terakhir, perang saudara pecah karena presiden sebelumnya Gbago, tidak mau menyerahkan kekuasaannya. Padahal lawan politiknya Ouattara yang beragama Islam telah memenangkan pemilu dengan 54,1 persen suara. Lebih unggul dibanding Gbago yang mendapat 45,9 persen. Konflik agak mereda setelah Gbago akhirnya ditangkap pada bulan April 2011.
Konflik komunitas pemeluk agama Islam (utara)-Kristen (selatan) tidak bisa dilepaskan dari sikap diskriminasi politisi Kristen terhadap umat Islam. Untuk mengaburkan jumlah dan peran serta umat Islam di Pantai Gading, pemerintahan era Henri Konan Bedie meluncurkan program ‘kemurnian trah Pantai Gading’. Ini berarti, suku pendatang yang menetap di bagian utara Pantai Gading yang berasal dari Mali dan Burkina Faso dan mayoritas Muslim tidak mendapatkan tempat yang layak (kelas dua).
Dengan alasan ini pula, tokoh Muslim Pantai Gading, Alassane Dramane Ouattara hengkang dari jabatan perdana menteri tahun 1993. Alassane Ouattara dituduh bukan berasal dari ‘trah asli Pantai Gading’, namun berasal dari Burkina Faso. Hal inilah yang memicu perang saudara yang melibatkan komunitas Muslim dan Kristen di Pantai Gading pada tahun 2002.
Yang mungkin banyak di antara kita tidak tahu, ternyata Pantai Gading adalah negeri dengan mayoritas penduduknya adalah Muslim. Total penduduk negara ini adalah 21, 6 juta (data PBB, 2010).  Dan berdasarkan laman Wikipedia.org pada tahun 2008, 38,6 persen dari penduduk Pantai Gading adalah Muslim, diikuti oleh 32,8 persen Kristen, 11,9 persen melakukan agama adat dan 16,7 persen tanpa agama.
Islam datang ke Afrika Barat dalam tiga gelombang. Pertama pada abad ke-9 ketika bangsa Barbar Afrika Utara menyebarkan Islam ke kerajaan Ghana. Kedua pada abad ke-13, ketika Kesultanan Mali terbentuk dan menyebarkan Islam ke seluruh Sabana di Afrika Barat sampai dengan abad ke-18. Terakhir pada abad ke-19 ketika seorang pahlawan Muslim Mali, yaitu Samore Toure menyebarkan ke arah selatan Afrika.
Islam masuk ke Pantai Gading pada gelombang ke-2, yaitu pada abad ke-13 ketika Kesultanan Mali berjaya dan menyebarkan Islam ke seluruh penjuru Afrika Barat. Sedangkan Kristen datang pada abad ke-17. Mayoritas pemeluk Islam di Pantai Gading beraliran Sunni, dan mengikuti Madzhab Maliki. Aliran sufi juga dianut oleh sebagian komunitas Muslim Pantai Gading. Aliran sufi yang dianut adalah Qadiriyah dan Tijaniyah.
Perkembangan Islam di Afrika, tidak lepas dari peran Muawiyah ibn Abi Sofyan. Dia mengutus Uqbah ibn Nafi menjadi gubernur di Afrika pada 666 M dengan ibukota di Fustat. Ia memimpin pasukan menghadapi tentara musuh yang mengacau di Fezzaan (sekarang daerah Libya Selatan) dan Wardan. Uqbahlah yang pertama kali menembus padang pasir Sahara, menembus wilayah-wilayah Sudan termasuk Ghana dan membuka jalan sampai ke kota. Pada periode kedua masa Yazid I, Uqbah memperluas wilayah kekuasaannya sampai Maroko. Berarti seluruh Ifriqiyah dan daerah al-Maghrib al-Aqsa jatuh di tangannya dengan amat cepat dalam waktu yang sangat singkat, maka Uqbah dijuluki sebagai Alexander Muslim.
Perlu dicatat, berbeda dengan sekarang, Afrika ketika di bawah naungan Khilafah mengalami kesejahteraan. Ibnu Abdil Hakam meriwayatkan, Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu berkat, ‘’Saya pernah diutus Khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikan kepada orang-orang miskin. Namun saya tidak menjumpai seorangpun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan semua rakyat pada waktu itu berkecukupan.’’ Pada masa beliau pula, pernah diutus 10 orang ahli fikih ke Afrika Utara untuk mengajar anak-anak Barbar ajaran-ajaran Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar