MAKALAH
“PERADILAN DAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI SENGKETA WILAYAH DI
INDONESIA”
DIBUAT OLEH :
Ø FALAH
ACHMAD BAGUSTI
SMA NEGERI 01 BABAKAN
MADANG
TAHUN AJARUN 2011-2012
KATA PENGANTAR
Dengan
mengucapkan puji serta syukur kehadirat ALLAH SWT,karena atas
Dengan mengucapkan puji serta syukur
kehadirat ALLAH SWT atas Karunia dan rahmatnya kami dapat menyelesaikan makalah
kami yang berjudul “PERADILAN DAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI SENGKETA WILAYAH
DI INDONESIA”
Adapun tujuan kami membuat makalah
ini sebagai bahan pembelajaran tentang sengketa wilayah internasional yang
terjadi oleh Indonesia.
Dalam hal ini kami menyadari bahwa
banyak sekali kekurangan dalam proses pembuatan karya ilmiah ini. Untuk itu kami mengharapkan saran dari
berbagai pihak sehingga membawa hasil yang maksimal seperti apa yang kita
harapkan . semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembacanya.
Babakan Madang, 20 April 2012
DAFTAR ISI
Kata pengantar………………………………………………………………......i
Daftar Isi…………………………………………………………………………ii
Konflik Indonesia dan malaysia………………………………………………...1
Konflik Indonesia dan timor
leste....…………………………………………….6
Konflik Indonesia dengan
Filipina……………………………………………..11
Daftar pustaka…………………………………………………………………13
Latar
Belakang
Konflik indonesia dengan malaysia sudah dimulai sejak tahun 1962-1966, pada
saat itu Perang ini berawal dari keinginan Federasi Malaya lebih dikenali
sebagai Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1961 untuk menggabungkan Brunei,
Sabah dan Sarawak kedalam Federasi Malaysia yang tidak sesuai dengan
Persetujuan Manila oleh karena itu Keinginan tersebut ditentang oleh Presiden
Soekarno yang menganggap pembentukan Federasi Malaysia yang sekarang dikenal
sebagai Malaysia sebagai "boneka Inggris" merupakan kolonialisme dan
imperialisme dalam bentuk baru serta dukungan terhadap berbagai gangguan
keamanan dalam negeri dan pemberontakan di Indonesia.
Pada 1961, Kalimantan dibagi menjadi empat administrasi. Kalimantan, sebuah
provinsi di Indonesia, terletak di selatan Kalimantan. Di utara adalah Kerajaan
Brunei dan dua koloni Inggris; Sarawak dan Borneo Utara, kemudian dinamakan
Sabah. Sebagai bagian dari penarikannya dari koloninya di Asia Tenggara,
Inggris mencoba menggabungkan koloninya di Kalimantan dengan Semenanjung
Malaya, Federasi Malaya dengan membentuk Federasi Malaysia.
Rencana ini ditentang oleh
Pemerintahan Indonesia; Presiden Soekarno berpendapat bahwa Malaysia hanya
sebuah boneka Inggris, dan konsolidasi Malaysia hanya akan menambah kontrol
Inggris di kawasan ini, sehingga mengancam kemerdekaan Indonesia. Filipina juga
membuat klaim atas Sabah, dengan alasan daerah itu memiliki hubungan sejarah
dengan Filipina melalui Kesultanan Sulu.
Di Brunei, Tentara Nasional
Kalimantan Utara (TNKU) memberontak pada 8 Desember 1962. Mereka mencoba
menangkap Sultan Brunei, ladang minyak dan sandera orang Eropa. Sultan lolos
dan meminta pertolongan Inggris. Dia menerima pasukan Inggris dan Gurkha dari
Singapura. Pada 16 Desember, Komando Timur Jauh Inggris (British Far Eastern
Command) mengklaim bahwa seluruh pusat pemberontakan utama telah diatasi, dan
pada 17 April 1963, pemimpin pemberontakan ditangkap dan pemberontakan
berakhir.
Filipina dan Indonesia resminya
setuju untuk menerima pembentukan Federasi Malaysia apabila mayoritas di daerah
yang hendak dilakukan dekolonial memilihnya dalam sebuah referendum yang
diorganisasi oleh PBB. Tetapi, pada 16 September, sebelum hasil dari pemilihan
dilaporkan. Malaysia melihat pembentukan federasi ini sebagai masalah dalam
negeri, tanpa tempat untuk turut campur orang luar, tetapi pemimpin Indonesia
melihat hal ini sebagai Persetujuan Manila yang dilanggar dan sebagai bukti kolonialisme
dan imperialisme Inggris.
Sejak demonstrasi
anti-Indonesia di Kuala Lumpur, ketika para demonstran menyerbu gedung KBRI,
merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan
Tunku Abdul Rahman yaitu Perdana Menteri Malaysia saat itu dan memaksanya untuk
menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak.
Soekarno yang murka
karena hal itu mengutuk tindakan demonstrasi anti-Indonesian yang
menginjak-injak lambang negara Indonesia dan ingin melakukan balas dendam
dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan nama Ganyang Malaysia. Soekarno
memproklamirkan gerakan Ganyang Malaysia melalui pidato beliau yang amat
bersejarah, berikut ini:
“
Kalau kita lapar
itu biasa
Kalau kita malu itu
juga biasa
Namun kalau kita
lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang ajar!
Kerahkan pasukan ke
Kalimantan hajar cecunguk Malayan itu!
Pukul dan sikat
jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat itu
Doakan aku, aku kan
berangkat ke medan juang sebagai patriot Bangsa, sebagai martir Bangsa dan
sebagai peluru Bangsa yang tak mau diinjak-injak harga dirinya.
Serukan serukan
keseluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini
kita akan membalas perlakuan ini dan kita tunjukkan bahwa kita masih memiliki
Gigi yang kuat dan kita juga masih memiliki martabat.
Yoo...ayoo...
kita... Ganjang...
Ganjang... Malaysia
Ganjang... Malaysia
Bulatkan tekad
Semangat kita badja
Peluru kita banjak
Njawa kita banjak
Bila perlu
satoe-satoe!
Soekarno.
Menjelang akhir
1965, Jendral Soeharto memegang kekuasaan di Indonesia setelah berlangsungnya
G30S/PKI. Oleh karena konflik domestik ini, keinginan Indonesia untuk
meneruskan perang dengan Malaysia menjadi berkurang dan peperangan pun mereda.
Pada 28 Mei 1966 di
sebuah konferensi di Bangkok, Kerajaan Malaysia dan pemerintah Indonesia
mengumumkan penyelesaian konflik. Kekerasan berakhir bulan Juni, dan perjanjian
perdamaian ditandatangani pada 11 Agustus dan diresmikan dua hari kemudian.
Sengketa perbatasan
indonesia vs malaysia
Pulau Sipadan dan Ligitan
Persengketaan
antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam
pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata
memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya.
Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan
status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia
membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena
Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai
persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status
ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai
persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. Pada tahun 1969 pihak
Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta
nasionalnya.
Pada tahun 1976,
Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity
and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini
antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk
menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan
tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan
Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan
Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei
Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991
lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran
semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim
atas kedua pulau.
Sikap pihak
Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan selalu
menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam kunjungannya ke
Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui
usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono
dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding,"
pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut.
Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49
Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997, sementara
pihak mengkaitkan dengan kesehatan Presiden Soeharto dengan akan dipergunakan
fasilitas kesehatan di Malaysia.
Pada tahun 1998
masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ, kemudian pada hari Selasa
17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan
Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting
di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang
yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap
dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih
oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan
effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan
batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah
melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi
perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu
sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan
pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan
berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi
gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia
di selat Makassar.
AMBALAT
Ambalat adalah blok
laut luas mencakup 15.235 kilometer persegi yang terletak di Laut Sulawesi atau
Selat Makassar dan berada di dekat perpanjangan perbatasan darat antara Sabah,
Malaysia, dan Kalimantan Timur, Indonesia. Penamaan blok laut ini didasarkan
atas kepentingan eksplorasi kekayaan laut dan bawah laut, khususnya dalam
bidang pertambangan minyak. Blok laut ini tidak semuanya kaya akan minyak
mentah.
pada tahun 1967
dilakukan pertemuan teknis pertama kali mengenai hukum laut antara Indonesia
dan Malaysia. Kedua belah pihak bersepakat (kecuali Sipadan dan Ligitan
diberlakukan sebagai keadaan status quo lihat: Sengketa Sipadan dan Ligitan).
Pada tanggal 27 Oktober 1969 dilakukan penandatanganan perjanjian antara
Indonesia dan Malaysia, yang disebut sebagai Perjanjian Tapal Batas Kontinental
Indonesia - Malaysia, kedua negara masing-masing melakukan ratifikasi pada 7
November 1969, tak lama berselang masih pada tahun 1969 Malaysia membuat peta
baru yang memasukan pulau Sipadan, Ligitan dan Batu Puteh (Pedra blanca)
tentunya hal ini membingungkan Indonesia dan Singapura dan pada akhirnya
Indonesia maupun Singapura tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut.
Kemudian pada
tanggal 17 Maret 1970 kembali ditanda tangani Persetujuan Tapal batas Laut
Indonesia dan Malaysia. Akan tetapi pada tahun 1979 pihak Malaysia membuat peta
baru mengenai tapal batas kontinental dan maritim dengan yang secara sepihak
membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat ke
dalam wilayahnya yaitu dengan memajukan koordinat 4° 10' arah utara melewati
Pulau Sebatik. Indonesia memprotes dan menyatakan tidak mengakui klaim itu,
merujuk pada Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia - Malaysia tahun 1969
dan Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia tahun 1970. Indonesia
melihatnya sebagai usaha secara terus-menerus dari pihak Malaysia untuk
melakukan ekspansi terhadap wilayah Indonesia. Kasus ini meningkat profilnya
setelah Pulau Sipadan dan Ligitan, juga berada di blok Ambalat, dinyatakan
sebagai bagian dari Malaysia oleh Mahkamah Internasional.
Pergeseran patok di
Perbatasan Indonesia dan malaysia
Menteri Pertahanan
Malaysia Dato' Seri Dr Ahmad Zahid bin Hamidi meminta agar wilayah perbatasan
antara Indonesia dan Malaysia tidak dijadikan sebagai alat politisasi. Hal itu
diungkapkan Ahmad Zahid terkait sengketa perbatasan di wilayah Camar Bulan dan
Tanjung Datu, Kalimantan Barat, yang belakangan menjadi isu panas di Indonesia.
"Jangan sampai
persoalan ini dipolitisasi, yang akhirnya menjadi ruwet. Ini politisi ikut
campur, jangan membuat rakyat resah. Kalau ada agenda politik, silakan. Tapi,
jangan dimasukkan ke dalam kesepakatan ini," ujar Ahmad Zahid saat
menggelar konferensi pers di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, Senin (17/10/2011).
Masalah perbatasan
ini pertama kali dilontarkan oleh Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin.
Politisi PDI-P itu menyebut wilayah Camar Bulan berkurang hampir 1.500 hektar
dan wilayah Tanjung Datu sepanjang 800 meter garis pantai. Bahkan, Malaysia
dikatakan sudah membangun taman nasional serta budidaya penyu di daerah
tersebut.
Menanggapi hal
tersebut, Ahmad Zahid menegaskan, tidak ada satu pun wilayah Indonesia yang
dicaplok Malaysia. Menurut dia, semua patok di dua wilayah tersebut tidak ada
satu pun yang bergeser. Ia juga membantah Malaysia membangun taman wisata
maupun budidaya penyu.
"Sudah ada
patoknya semua dan tidak ada pemindahan patok. Mungkin dia (Hasanuddin) sendiri
tidak pernah lihat secara langsung," kata Ahmad Zahid.
Sebelumnya, pada
Jumat (14/10/2011), Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Laksamana Agus
Suhartono menegaskan, tidak ada wilayah Indonesia yang dicaplok Malaysia.
Penegasan itu dia sampaikan setelah menerima laporan dari Pangdam XII Tanjung
Pura Mayjen TNI Geerhan Lantara yang telah meninjau lokasi.
Menurut dia,
prajurit terus menjaga perbatasan sesuai perjanjian yang ada. Jika ada patok
yang bergeser, kata dia, dapat dikembalikan ke koordinat semula lantaran semua
pos telah dilengkapi data mengenai koordinat setiap patok.
Kesimpulan :
Banyak sekali
konflik yang terjadi antara indonesia dengan malaysia, konflik perbatasan,
kebudayaan, hingga makanan. Malaysia tidak habisnya membuat bangsa ini hancur.
Konflik anatara
indonesia dengan malaysia tidak akan pernah habisnya, kita bangsa indonesia
selalu kalah dalam penyelesaian konflik yang terjadi. Maka dari itu kita harus
mengenali semua budaya-budaya, keragaman suku, dan mencintai indonesia agar
semua kekayaaan yang kita miliki tidak dapat diambil oleh negara lain.
LATAR BELAKANG
Timor Leste dengan
Indonesia merupakan dua negara yang berbatasan sehingga dapat dikatakan negara
tetangga yang samasama memiliki batas wilayahnya masingmasing. Sejak terpisahya
Timor Leste menjadi negara tersendiri tepat pada tahun 1999. Timor Leste dengan
Indonesia memiliki sejarah yang panjang hinngga saat ini masih merupakan dasar
yang kuat bagi kedua negara untuk saling bekerjasama dan saling memberi
kepercayaan, karena sebelumnya Timor Leste merupakan wilayah /propinsi bagian
dari negara Republik Indonesia. Sejak Timor Leste merdeka, secara resmi Timor
Leste berbatasan langsung dengan wilayah Indonesia, yaitu dengan wilayah Nusa
Tengara Timur Motain (NTT) secara khusus. Kawasan wilayah perbatasan antara
negara Timor Leste dengan negara Indonesia termasuk dalam kategori
wilayah/daerah yang rawan dan bersifat strategis.
Kerawanan yang timbul
akibat dari adanya kesenjangan sosial, ekonomi, dan budaya antar kedua negara
tersebut karena jarak batas antara Timor Leste dengan Indonesia sangat berdekatan
begitu pula penduduk masyarakat di perbatasan wilayah kedua negara bila di
tinjau dari sejarahnya, samasama berbahasa TeTum. Sehingga dapat menjadi dampak
bagi aspek kepentingan nasional. Untuk itu perlu adanya perbedaan khusus garis
batas wilayah kedua negara ini agar bisa mencegah bisnis gelap yang sering
muncul secara tradisional di wilayah perbatasan karena akibat dari perselisihan
harga barang yang dijual secara pasar gelap. Begitu pula ditinjau dari
persaudaraan yang terjalin oleh masyarakat diwilayah perbatasan kedua negara
ini jika dilihat dari sejarahnya yang memudahkan untuk saling berkomunikasi
untuk memunculkan pasar gelap ini karena faktor ekonomi yang saat ini sulit
untuk teratasi. Timor Leste adalah sebuah negara kecil yang masih sangat memerlukan
perhatian dan itu tidak hanya merupakan kewajiban pemerintah Timor Leste saja,
akan tetapi juga merupakan kewajiban bagi seluruh masyarakat Timor Leste, oleh
karena itu sangat penting mengkaji tentang kebijakan pemerintah Timor Leste
dalam mengatasi masalah perbatasan Timor Leste (Motain) dengan Indonesia. Timor
Leste merupakan sebuah negara kecil yang baru merdeka, Timor Leste memiliki
batas wilayah dengan negara Indonesia. Dimana panjang garis perbatasan antara
Timor Leste dan Indonesia adalah kurang lebih 279 kilometer yang masingmasing
meliputi 710 titik di Kabupaten belu, 3 titik diKabupaten Kupang dan 5 titik di
Kabupaten Timor Tengah Utara. Batas wilayah kedua negara tersebut merupakan
sengketa bagi pertahanan keamanan bagi masingmasing wilayah kedua negara ini.
Garis batas wilayah
negara Timor Leste (Motain) dengan Indonesia di batasi oleh sebuah sungai
kecil, sudah tentu perbatasan wilayah kedua negara tersebut akan menimbulkan
berbagai permasalahn karena jarak yang sangat berdekatan memudahkan timbulnya
kerawanan bagi keamanan wilayah Timor Leste. Timbulnya masalah di perbatasan
Wilayah Timor Leste – Indonesia karena kerawanan batas wilayah kedua negara
yang strategis, stabilitas keamanan kedua negara yang belum 100% terjamin aman,
ditinjauh dari aspek historis atau sejarahnya, masyarakat yang berada diwilayah
perbatasan kedua negara tersebut memiliki ciri khas yang sama yaitu persamaan
bahasa, ras, warna kulit juga sebagian besar masyarakat yang memiliki keluarga
di seberang (Atambua) sehingga memudahkan warga seberang melakukan bisnis gelap
masuk ke wilayah Timor Leste karena target harga yang berbeda, dan perbedaan
mata uang yang berlaku yaitu Rupiah ke Dolar yang memiliki kesenjangan yang
berbeda jauh, karena kurang terjaminnya stabilitas keamanan bagi kedua negara
tersebut. Seperti yang diketahui pula bahwa adanya kasus-kasus dan konflik di
wilayah perbatasan kedua negara tersebut yang masih sangat merupakan faktor
hambatan bagi stabilitas perbatasan kedua negara ini antara lain :
1.1.1 Konflik perbatasan yang menurut Aiex
Mendonca, bahwa perbatasan antara Timor Leste dengan Indonesia belum dikatakan
mengikuti kaidah Internasional karena sebagai buktinya pembangunan pos
perbatasan yang masih dalam kawasan bebas (free area), yang jaraknya sekitar 1
km dari bibir perbatasan Timor Leste. Sehingga dikatakan tidak pas untuk
mengadakan penangkapan kepada masyarakat manapun.
1.1.2 Contoh kasus penyeludupan bahan bakar
minyak (BBM) dan kebutuhan bahan pokok ekonomi lainnya yang dijual oleh masyarakat
bagian Timor Barat kepada masyarakat bagian Timor Leste secara ilegal.
1.1.3 Kasus pelarian Mayor Alfredo Reinaldo
beserta rekan-rekan anggotanya masuk melintasi wilayah perbatasan dengan
membawa senjata tanpa dokumentasi. Karena perlakuan tersebut dikatakan
mengancam ketenangan masyarakat Timor Leste.
Contoh kasus – kasus
kejahatan tersebut memberikan gambaran bahwa wilayah perbatasan antara kedua
negara tersebut belum terjamin aman. Menurut Kandidat Doktor ilmu hukum John
Bernando Seran SH.MA, UGM Yogyakarta mengatakan, perbatasan antara Timor Leste
dan Timor bagian Barat NTT bisa menjadi jalur kejahatan internasional jika
diabaikan oleh Interpol kedua negara tersebut.
Karena jika semakin
terbukanya peluang maka semakin meningkatnya kejahatan. Untuk mencegah Konsul
Timor Leste di Kupang, C Kaetano De Sousa Guterres, SH.MH, meminta kepada
pemerintah Indonesia untuk membangun kerja sama, baik di bidang Imigrasi maupun
Karantina di perbatasan, juga penyeludupan barang perdagangan, orang dan bentuk
kejahatan lainnya melaui perbatasan.
KONFLIK INDONESIA – TIMOR LESTE
Soal klaim wilayah
Indonesia, ternyata bukan hanya dilakukan oleh Malaysia, tetapi juga oleh Timor
Leste, negara yang baru berdiri sejak lepas dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia pada tahun 1999. Klaim wilayah Indonesia ini dilakukan oleh sebagian
warga Timor Leste tepatnya di perbatasan wilayah Timor Leste dengan wilayah
Indonesia, yaitu perbatasan antara Kabupaten Timor Tengah Utara (RI) dengan
Timor Leste. Permasalahan perbatasan antara RI dan Timor Leste itu kini sedang
dalam rencana untuk dikoordinasikan antara Pemerintah RI dengan Pemerintah
Timor Leste dan kemungkinan akan dibawa ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
untuk mendapatkan penyelesaian.
Raja Amfoang, Robi Manoh
mendesak pemerintah Indonesia segera menyelesaikan batas wilayah di Natuka, Kecamatan
Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan pemerintah
Timor Leste. “Natuka adalah wilayah kita (Indonesia) dan dinyatakan sebagai
zona bebas oleh kedua negara. Namun, rakyat Oecusse tetap mengklaim sebagai
wilayah daratan Timor Leste sehingga menyerobot masuk sampai sejauh lima
kilometer untuk berkebun di dalamnya,” kata Raja Manoh di Kupang, Minggu. Atas
dasar itu, ia mendesak pemerintah Indonesia segera melakukan perundingan dengan
Timor Leste untuk segera menyelesaikan batas wilayah antarkedua negara di
Natuka, Kecamatan Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, NTT itu guna mencegah
terjadinya konflik antara rakyat Amfoang dengan masyarakat Oecusse di wilayah
kantung (enclave) Timor Leste.
Raja Manoh berpendapat,
untuk menyelesaikan batas wilayah tersebut, pemerintah harus melibatkan
raja-raja di Timor seperti raja Amfoang, Timor Tengah Utara, Atambua dan raja
Ambeno. “Jika diselesaikan secara administratif pemerintahan antara kedua
negara, saya optimistis wilayah tersebut akan jatuh ke tangan Timor Leste.
Karena itu, para raja di
Timor juga harus dilibatkan,” katanya. Ia mengungkapkan, batas wilayah yang
sebenarnya antara RI-Timor Leste adalah Tepas, karena di tempat itulah
dijadikan sebagai tempat pertemuan antara Raja Ambeno Oecusse dengan Raja
Amfoang. “Raja Ambeno Oecusse sudah mengakui bahwa wilayah Natuka adalah milik
Indonesia, namun sudah diserobot masuk oleh penduduk Oecusse untuk berkebun.
Ini sudah tidak benar lagi,” katanya menegaskan.
Manoh menjelaskan, batas
wilayah yang diserobot penduduk Oecusse dan diklaim sebagai daratan Timor Leste
itu, karena mengacu pada batas wilayah provinsi yang ditetapkan ketika Timor
Leste masih menjadi bagian dari provinsi ke-27 Indonesia. “Guna menghindari
terjadinya konflik di tapal batas, kami harapkan pemerintah Indonesia dan Timor
Leste segera berunding untuk menyelesaikan batas wilayah kedua negara di
Natuka,” katanya. “Masyarakat kami di sana (Amfoang) sudah menyatakan siap
berperang melawan warga Oecusse jika persoalan tapal batas tidak segera
diselesaikan oleh kedua negara,” tambahnya.
Masalah perbatasan antara
Indonesia dan Timor Leste, khususnya di lima titik yang hingga kini belum
diselesaikan akan dibawa ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Lima titik
tersebut adalah Imbate, Sumkaem, Haumeniana, Nimlat, dan Tubu Banat, yang
memiliki luas 1.301 hektare (ha) dan sedang dikuasai warga Timor Leste. Tiga
titik diantaranya terdapat di perbatasan Kabupaten Belu dan dua di perbatasan
Timor Leste dengan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). “Lima titik yang belum
final tersebut masih menunggu mediasi yang dilakukan PBB bersama pemerintah RI
dan Timor Leste,” kata Asisten Pemerintahan dan Kesejateraan Rakyat Setda Nusa
Tenggara Timur (NTT), Yoseph Aman Mamulak usai menghadiri pertemuan membahas
persoalan perbatasan yang digelar Lantamal VII Kupang di Kupang, Kamis. Dia
mengatakan, berlarutnya penyelesaian lima titik di perbatasan tersebut
mengakibatkan penetapan batas laut kedua negara belum bisa dilakukan.
“Bagaimana kita menetapkan batas laut, kalau darat saja belum selesai,”
katanya. Di lima titik tersebut, ada dua hal yang belum disepakati warga dari
kedua negara yakni penetapan batas apakah mengikuti alur sungai terdalam, dan
persoalan pembagian tanah. “Tanah yang dipersoalkan di perbatasan merupakan
tanah ulayat yang menurut warga tidak boleh dipisahkan,” katanya.
Semula, kata Mamulak,
pemerintah Indonesia dan Timor Leste sepakat batas kedua negara adalah alur
sungai terdalam, tetapi tidak disepakati warga, karena alur sungai selalu
berubah-ubah. “Terkadang alur sungai masuk lebih jauh ke wilayah Indonesia,
tetapi kadang masuk ke wilayah Timor Leste,” katanya. Selain itu, ternak milik
warga di perbatasan tersebut minum air di sungai yang berada di tapal batas
kedua negara.
Jika sapi melewati batas
sungai terdalam, warga tidak bisa menghalaunya kembali, karena melanggar batas
negara. Dia mengatakan, warga kedua negara yang bermukim di perbatasan harus
rela membagi tanah ulayat mereka, karena menyangkut persoalan batas negara.
“Penyelesaian masalah perbatasan bisa dilakukan dengan adat setempat, “katanya.
Departemen Luar Negeri
(Deplu) menyurvei daerah perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste, terutama
di lima titik yang masih menjadi sengketa. “Kami datang untuk mengumpulkan data
di daerah perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste,” kata ketua tim survei
Deplu, Dodie Herado, setelah bertemu dengan Pemerintah Provinsi NTT di Kupang,
Rabu. Lokasi yang akan di survei adalah lima titik batas negara antara
Indonesia dan Timor Leste yang belum terselesaikan, yakni Imbate, Sumkaen,
Haumeniana, Nilulat dan Tubana antara Oecusse dan Kabupaten Timor Tengah Utara
(TTU). Hasil survei ini, katanya, akan disampaikan ke Menteri Luar Negeri
(Menlu) Hassan Wirajuda, yang selanjutnya akan disampaikan ke DPR untuk
dikoordinasikan dengan Pemerintah Timor Leste untuk menetapkan batas wilayah.
Survei antara lain
menyangkut masalah keamanan di perbatasan, karena berdasarkan laporan yang
masuk ke Deplu, aparat di perbatasan kesulitan mengamankan perbatasan karena minimnya
anggaran. “Kami juga akan melihat sarana-prasarana bagi aparat keamanan yang
berada di perbatasan, seperti gedung dan lainnya,” katanya. Tim ini, lanjut
dia, juga akan memantau pelintas batas yang berkunjung ke Timor Leste maupun
Indonesia. Pelintas batas antara kedua negara tersebut harus disiapkan kartu
identitas. Selain itu, tim juga akan mencermati penangkapan terhadap warga
Indonesia di Timor Leste, seperti yang dialami oleh Sekretaris Kecamatan
Kobalima Timur, Kabupaten Belu yang ditangkap aparat keamanan Timor Leste
beberapa waktu lalu. “Kami juga mendapat infomasi bahwa warga Indonesia
ditangkap di Timor Leste. Hal itu juga akan kami cermati untuk dilaporkan,”
katanya.
Hasil survei ini, tambah dia, juga akan digunakan untuk meminimakan akses di perbatasan antara kedua negara, terutama di perbatasan antara masyarakat Oecusse dan Kecamatan Amfoang Timur, Kabupaten Kupang yang telah terjadi penyerobotan lahan. Langkah itu untuk menghindari kemungkinan terjadi konflik antara masyarakat di perbatasan. Menyangkut penyelesaian batas wilayah, ia mengatakan harus melibatkan masyarakat adat di perbatasan. Karena itu, pihaknya juga akan menerima rekomendasi dari masyarakat adat di perbatasan untuk menyelesaian masalah perbatasan antara kedua negara. “Masyarakat adat di perbatasan antara kedua negara perlu dilibatkan, tapi keterlibatan mereka tidak secara langsung,” katanya.
Hasil survei ini, tambah dia, juga akan digunakan untuk meminimakan akses di perbatasan antara kedua negara, terutama di perbatasan antara masyarakat Oecusse dan Kecamatan Amfoang Timur, Kabupaten Kupang yang telah terjadi penyerobotan lahan. Langkah itu untuk menghindari kemungkinan terjadi konflik antara masyarakat di perbatasan. Menyangkut penyelesaian batas wilayah, ia mengatakan harus melibatkan masyarakat adat di perbatasan. Karena itu, pihaknya juga akan menerima rekomendasi dari masyarakat adat di perbatasan untuk menyelesaian masalah perbatasan antara kedua negara. “Masyarakat adat di perbatasan antara kedua negara perlu dilibatkan, tapi keterlibatan mereka tidak secara langsung,” katanya.
ANALISIS
Wilayah Indonesia diklaim
warga timor letse menurut pendapat saya merupakan kasus internasional. Hal ini
dijelaskan oleh mochtar Kusumaatmadja mengenai pengertian hukum internasional,
Hukum internasional adalah keseluruhan kaedah-kaedah dan azas-azas yang
mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara-negara
antara:
(1) negara dengan negara;
(2) negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara satu sama lain.
(1) negara dengan negara;
(2) negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara satu sama lain.
Dalam hal ini hukum
internasional yang dimaksud adalah hukum Internasional publik, bukan hukum
internasional perdata, sebab hukum internasional perdata hanya mengatur
hubungan perdata (antara orang perseorangan) yang melintasi batas negara,
sedangkan hukum publik yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi
batas negara diluar kasus perdata tersebut.
Berdasarkan pengertian
tersebut, kedaulatan bangsa, dalam hal ini batas wilayah Indonesia, masuk
kedalam ranah hukum publik. Hal ini jelas diatur dalam pasal 1 UUD 1945 tentang
bentuk kedaulatan jo pasal 25A UUD 1945 tentang wilayah negara. Berdasarkan
pasal tersebut, kedaulatan dilaksanakan menurut undang-undang dengan wilayah
dan batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang. Berdasarkan
batas zona bebas kelautan, Natuka merupakan wilayah Indonesia, namun
berdasarkan kebiasaan dimana penduduk Oecusse berkebun di wilayah tersebut,
sehingga mereka mengklaim wilayah tersebut merupakan wilayah Timur Letse.
Hal ini berkaitan dengan
kedaulatan suatu bangsa, jika Natuka merupakan wilayah Indonesia, maka wilayah
tersebut dengan jelas merupakan teritorial indonesia, yang berarti segala
tindakan yang terjadi di dalamnya berlaku hukum Indonesia. Dalam hal ini, jika
yang diberlakukan hukum Indonesia, maka penduduk Oecusse yang merupakan
penduduk Timur Letse, telah melakukan penyimpangan dengan memanfaatkan lahan
Indonesia sebagai mata pencaharian tanpa ijin. Pasal yang dituntutkan antara
lain masuk wilayah negara tanpa ijin, serta pidana pencurian dan penggelapan.
Selain itu, kasus ini merupakan persoalan negara dengan negara, yaitu Indonesia dengan Timur Letse, sehingga berada dalam ranah hukum Publik. Penyelesaiannya pun dapat berupa traktat, keputusan yudisial dan pengadilan arbitrase keputusan pengadilan internasional, maupun keputusan leembaga atau konferensi Internasional yang dalam hal ini dapat diselesaikan baik melalui perundingan antar kedua negara saja maupun melibatkan PBB.
Selain itu, kasus ini merupakan persoalan negara dengan negara, yaitu Indonesia dengan Timur Letse, sehingga berada dalam ranah hukum Publik. Penyelesaiannya pun dapat berupa traktat, keputusan yudisial dan pengadilan arbitrase keputusan pengadilan internasional, maupun keputusan leembaga atau konferensi Internasional yang dalam hal ini dapat diselesaikan baik melalui perundingan antar kedua negara saja maupun melibatkan PBB.
KONFLIK INDONESIA DENGAN
FILIPINA
Kondisi
geografi Indonesia sebagai negara kepulauan yang dipersatukan oleh lautan
dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa telah melahirkan suatu budaya politik
persatuan dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam usaha
mencapai kepentingan, tujuan dan cita-cita nasional, bangsa Indonesia
dihadapkan pada tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan yang harus
ditanggulangi. Salah satu bentuk ancaman tersebut adalah masalah perbatasan
NKRI yang mencuat beberapa pekan terakhir ini yaitu klaim Negara Philipina atas
pulau Miangas yang secara posisi geografis kedudukannya lebih dekat dengan
negara tetangga yang diindikasikan memiliki keinginan memperluas wilayah. Pulau
Miangas ini adalah salah satu pulau terluar Indonesia yang memiliki luas 3, 15
km2 dan masuk dalam desa Miangas, Kecamatan Nanusa Kabupaten Talaud Propinsi
Sulawesi Utara. Pulau Miangas dan Pulau Manoreh berdasarkan peta Spanyol 300
tahun lalu dan Trakat Paris tahun 1989, merupakan wilayah Philiphina.
Pernyataan Konsulat Jenderal RI untuk Davao City Philipina yang mengejutkan
bahwa Pulau Miangas dan Pulau Manoreh berdasarkan peta Spanyol 300 tahun lalu
merupakan wilayah Philiphina, bahkan masalah ini dengan UU pemerintah Philipina
yang baru, kedua pulau ini telah masuk pada peta pariwisata Philipina.
Pemerintah Philipina mengakui keberadaan pulau Miangas sebagai miliknya
berdasarkan Trakat Paris tahun 1989, Trakat Paris tersebut memuat batas-batas
Demarkasi Amerika serikat (AS) setelah menang perang atas Spanyol yang menjajah
Philipina hingga ke Miangas atau La Palmas. Trakat itu sudah dikomunikasikan
Amerika Serikat ke Pemerintah Hindia Belanda, tetapi tidak ada reservasi formal
yang diajukan pemerintah hindia Belanda terhadap Trakat itu. Hingga kini
Indonesia dan Philipina belum mengikat perjanjian batas wilayah tersebut.
Putusan Mahkamah Internasional/MI,International Court of Justice (ICJ) tanggal 17-12-2002 yang telah mengakhiri rangkaian persidangan sengketa kepemilikan P. Sipadan dan P. Ligitan antara Indonesia dan Malaysia mengejutkan berbagai kalangan. Betapa tidak, karena keputusan ICJ mengatakan kedua pulau tersebut resmi menjadi milik Malaysia. Disebutkan dari 17 orang juri yang bersidang hanya satu orang yang berpihak kepada Indonesia. Hal ini telah memancing suara-suara sumbang yang menyudutkan pemerintah khususnya Deplu dan pihak-pihak yang terkait lainnya. Dapat dipahami munculnya kekecewaan di tengah-tengah masyarakat, hal ini sebagai cermin rasa cinta dan kepedulian terhadap tanah air.
Sengketa Indonesia dengan Filipina adalah perairan laut antara P. Miangas (Indonesia) dengan pantai Mindanao (Filipina) serta dasar laut antara P. Balut (Filipina) dengan pantai Laut Sulawesi yang jaraknya kurang dari 400 mil. Disamping itu letak P. Miangas (Indonesia) di dekat perairan Filipina, dimana kepemilikan P. Miangas oleh Indonesia berdasarkan Keputusan Peradilan Arbitrage di Den Haag tahun 1928. Di Kecamatan Nanusa, Kabupaten Talaud, Pulau Miangas merupakan titik terluar yang paling jauh dan berbatasan dengan Filipina. Dalam adat Nanusa, Miangas disebut Tinonda. Konon, pulau ini sering menjadi sasaran bajak laut. Selain merebut harta benda, perompak ini membawa warga Miangas untuk dijadikan budak di Filipina. Di masa Filipina dikuasai penjajah Spanyol, Miangas dikenal dengan sebutan Poilaten yang memiliki arti: Lihat pulau di sana. Karena di Miangas banyak ditumbuhi palm mulailah disebut Las Palmas. Lambat laun pulau ini disebut Miangas. Miangas bukan hanya menjadi sasaran perompakan. Pulau ini memiliki sejarah panjang karena menjadi rebutan antara Belanda dan Amerika. Amerika mengklaim Miangas sebagai jajahannya setelah Spanyol yang menduduki Filipina digeser Amerika. Tapi, Belanda keberatan. Sengketa berkepanjangan terjadi, kasus klaim Pulau Miangas ini diusung ke Mahkamah Internasional. Secara geografis, penjajah Amerika Serikat mulai bersentuhan dengan Sulawesi bagian utara sejak akhir abad ke 19. Di tahun 1898 itu, Amerika baru saja menguasai Filipina, setelah memerangi Spanyol yang ratusan tahun menduduki negara kepulauan itu. Setelah Spanyol ditaklukkan, muncul sengketa antara Amerika dengan Hindia Belanda. Sejumlah warga Karatung mempertahankan pulau itu sebagai bagian dari gugusan Kepulauan Nanusa. Saat penentuan demarkasi antara Amerika dan Belanda, wakil raja Sangihe dan Talaud, serta tokoh adat Nanusa dihadirkan di Miangas. Dalam pertemuan untuk menentukan pulau itu masuk jajahan Belanda atau Spanyol, salah seorang tokoh adat Petrus Lantaa Liunsanda mengucapkan kata-kata adat bahwa Miangas merupakan bagian Nanusa. Gugusan Nanusa mulai dari Pulau Malo atau disebut tanggeng kawawitan (yang pertama terlihat) hingga Miangas.
Putusan Mahkamah Internasional/MI,International Court of Justice (ICJ) tanggal 17-12-2002 yang telah mengakhiri rangkaian persidangan sengketa kepemilikan P. Sipadan dan P. Ligitan antara Indonesia dan Malaysia mengejutkan berbagai kalangan. Betapa tidak, karena keputusan ICJ mengatakan kedua pulau tersebut resmi menjadi milik Malaysia. Disebutkan dari 17 orang juri yang bersidang hanya satu orang yang berpihak kepada Indonesia. Hal ini telah memancing suara-suara sumbang yang menyudutkan pemerintah khususnya Deplu dan pihak-pihak yang terkait lainnya. Dapat dipahami munculnya kekecewaan di tengah-tengah masyarakat, hal ini sebagai cermin rasa cinta dan kepedulian terhadap tanah air.
Sengketa Indonesia dengan Filipina adalah perairan laut antara P. Miangas (Indonesia) dengan pantai Mindanao (Filipina) serta dasar laut antara P. Balut (Filipina) dengan pantai Laut Sulawesi yang jaraknya kurang dari 400 mil. Disamping itu letak P. Miangas (Indonesia) di dekat perairan Filipina, dimana kepemilikan P. Miangas oleh Indonesia berdasarkan Keputusan Peradilan Arbitrage di Den Haag tahun 1928. Di Kecamatan Nanusa, Kabupaten Talaud, Pulau Miangas merupakan titik terluar yang paling jauh dan berbatasan dengan Filipina. Dalam adat Nanusa, Miangas disebut Tinonda. Konon, pulau ini sering menjadi sasaran bajak laut. Selain merebut harta benda, perompak ini membawa warga Miangas untuk dijadikan budak di Filipina. Di masa Filipina dikuasai penjajah Spanyol, Miangas dikenal dengan sebutan Poilaten yang memiliki arti: Lihat pulau di sana. Karena di Miangas banyak ditumbuhi palm mulailah disebut Las Palmas. Lambat laun pulau ini disebut Miangas. Miangas bukan hanya menjadi sasaran perompakan. Pulau ini memiliki sejarah panjang karena menjadi rebutan antara Belanda dan Amerika. Amerika mengklaim Miangas sebagai jajahannya setelah Spanyol yang menduduki Filipina digeser Amerika. Tapi, Belanda keberatan. Sengketa berkepanjangan terjadi, kasus klaim Pulau Miangas ini diusung ke Mahkamah Internasional. Secara geografis, penjajah Amerika Serikat mulai bersentuhan dengan Sulawesi bagian utara sejak akhir abad ke 19. Di tahun 1898 itu, Amerika baru saja menguasai Filipina, setelah memerangi Spanyol yang ratusan tahun menduduki negara kepulauan itu. Setelah Spanyol ditaklukkan, muncul sengketa antara Amerika dengan Hindia Belanda. Sejumlah warga Karatung mempertahankan pulau itu sebagai bagian dari gugusan Kepulauan Nanusa. Saat penentuan demarkasi antara Amerika dan Belanda, wakil raja Sangihe dan Talaud, serta tokoh adat Nanusa dihadirkan di Miangas. Dalam pertemuan untuk menentukan pulau itu masuk jajahan Belanda atau Spanyol, salah seorang tokoh adat Petrus Lantaa Liunsanda mengucapkan kata-kata adat bahwa Miangas merupakan bagian Nanusa. Gugusan Nanusa mulai dari Pulau Malo atau disebut tanggeng kawawitan (yang pertama terlihat) hingga Miangas.
Setelah
Indonesia merdeka, kehidupan di Kepulauan Nanusa ini tidak berubah. Di masa
Soekarno menjadi Presiden, hampir tak ada pembangunan di daerah itu. Terutama
untuk fasilitas umum, seperti sekolah. Sekolah di pulau-pulau ini paling banyak
dijalankan Yayasan Pendidikan Kristen. daerah perbatasan tampaknya selalu
berarti wilayah terisolasi, tertinggal. Ini merupakan dampak kebijakan
pembangunan nasional di masa lalu. Potensi sumber daya laut yang dapat menjadi
sumber kemakmuran masyarakat kepulauan, tidak mendapat perhatian. Sebanyak 16
pulau di Talaud sendiri telah membentuk kabupaten. Dari jumlah itu, sembilan
pulau belum didiami dan tujuh pulau lainnya sudah berpenghuni. Pembentukan
kabupaten ini tidak lepas lantaran rendahnya tingkat pengembangan daerah
perbatasan selama ini.
DAFTAR PUSTAKA
1.
id.wikipedia.org/wiki/Konfrontasi_Indonesia-Malaysia
3.
id.wikipedia.org/wiki/Ambalat
6.
http://id.shvoong.com/law-and-politics/politics/1881037-sengketa-pulau-miangas-bagian/#ixzz1sQPmzDQo
analisisnya kurang mengena.. tapi terima kasih infonya
BalasHapus