Dia yang terkapar
dilantai zaman yang semakin gersang, tertelungkup penuh dengan
kotoran sehingga sudah tak terkenali lagi siapa dia. Tubuhnya dipenuhi
dengan balutan-balutan identitas yang kemudian menjadikannya tak
dikenali. Dia terbaring di kamar sempit karena isi ruang-ruang besar
telah dipenuhi oleh kepalsuan dan semunya pakaian. Ia dicampakkan dan
sangat tidak dihiraukan lagi karena kalah dengan glamornya dunia.
Dia di simpan rapat-rapat dalam laci gelap karena mengganggu
keberadaan pandangan dunia. Dia kesepian, dia sakit, bahkan dia mati!,
karena tidak pernah diberi makan, dijenguk dan disapa. Dia dibiarkan
saja menyendiri tanpa pernah dimengerti. Diamkan begitu lama,
dimasabodohkan sekian masa, dibuang dan disingkirkan begitu saja.
Kita yang telah membuangnya begitu bangga dengan pakaian yang semu dan fana. Merasa terhormat dengan singgasana kesombongan dan pangkat kekerdilan. Begitu asyik menikmati ketidakjelasan dan kesalahan tempat, kegamangan orientasi dan kekacauan berfikir. Teralu mengagung-agungkan otak, kafasihan bibir bertutur dan menganggap yang ada hanya yang tampak mata saja. Kita terus memesrai keramian dunia yang sebenarnya hanya sementara. Kita melupakan apa yang seharusnya diingat dan mengerjakan apa yang semestinya disingkiri. Ya, begitulah kita yang telah lupa dan terlena dengan keadaan. Terpesona dengan indahnya kulit pakaian, tertipu oleh bayangan.
Dia tak pernah dimintai lagi nasehat, karena nafsu telah menjadi pujangganya. Dia tak lagi dipandang karena dia tidak menjanjijikan keuntungan duniawi. Dia dibiarkan sendiri, dilupakan, diabaikan dan disepelekan. Dia tidak pernah dijenguh apalagi diberi makan dan minum. Dia dininabobokkan. Namun Kini, sambil merangkak dia justru bangkit mencoba menyapa Kita yang membuangnya. Menampakkan wajahnya agar Kita mulai mengenalinya lagi. Dia justru terus berusaha mengenalkan dirinya meskipun masih sering ditendang dan dibuang. Ia terus mencoba masuk, menerobos keramaian jaman, menerjang kagaduhan dunia dengan tetap menyediakan ruang untuk disingkirkan. Bahkan kini dia berteriak kencang meneriaki kita yang sudah meninggalkannya begitu jauh hanya karena mengejar fatamorgana.
Dia kini hadir bersama suatu masa
yang sangat nyata keindahan, kesejukkannya, dan juga keberkahannya.
Datang bersama masa yang sangat didamba dan dinanti oleh setiap kita
yang mengaku sebagai manusia. Masa tempat mengolah jiwa dan raga.
Masa dimana bisa berenang di lautan pahala. Masa yang menjanjikan nilai
tiada terkira. Akan tetapi akankah dia dengar? Akankah dia diterima?
Akankah dia rasakan keberadaanya? Akankah adanya kembali diadakan?
Terserah kita! Yang jelas setiap saat dia terus menyapa dan
memanggil-manggil kita. Dia senatiasa setia ada dalam setiap manusia.
Dan yang jelas dia terus meronta dan menggugat kita!
Kita yang telah membuangnya begitu bangga dengan pakaian yang semu dan fana. Merasa terhormat dengan singgasana kesombongan dan pangkat kekerdilan. Begitu asyik menikmati ketidakjelasan dan kesalahan tempat, kegamangan orientasi dan kekacauan berfikir. Teralu mengagung-agungkan otak, kafasihan bibir bertutur dan menganggap yang ada hanya yang tampak mata saja. Kita terus memesrai keramian dunia yang sebenarnya hanya sementara. Kita melupakan apa yang seharusnya diingat dan mengerjakan apa yang semestinya disingkiri. Ya, begitulah kita yang telah lupa dan terlena dengan keadaan. Terpesona dengan indahnya kulit pakaian, tertipu oleh bayangan.
Dia tak pernah dimintai lagi nasehat, karena nafsu telah menjadi pujangganya. Dia tak lagi dipandang karena dia tidak menjanjijikan keuntungan duniawi. Dia dibiarkan sendiri, dilupakan, diabaikan dan disepelekan. Dia tidak pernah dijenguh apalagi diberi makan dan minum. Dia dininabobokkan. Namun Kini, sambil merangkak dia justru bangkit mencoba menyapa Kita yang membuangnya. Menampakkan wajahnya agar Kita mulai mengenalinya lagi. Dia justru terus berusaha mengenalkan dirinya meskipun masih sering ditendang dan dibuang. Ia terus mencoba masuk, menerobos keramaian jaman, menerjang kagaduhan dunia dengan tetap menyediakan ruang untuk disingkirkan. Bahkan kini dia berteriak kencang meneriaki kita yang sudah meninggalkannya begitu jauh hanya karena mengejar fatamorgana.
Add caption |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar