Indonesia berpenduduk lebih dari 220 juta jiwa, terbanyak keempat dunia.
Namun, mengapa dengan penduduk melimpah negeri ini, Indonesia tandus
gelar juara, bahkan di level Asia Tenggara pun tak kuasa? Mungkin tak
cukup sehari-semalam mendiskusikannya.
Bukan diskusi atau
retorika yang diperlukan saat ini, melainkan rencana matang dan aksi
nyata. Lelah dan bosan publik sepak bola negeri ini mendengar
jargon-jargon pentingnya pembinaan usia muda. Namun, belum pernah ada
wujud konkretnya.
Bagaimana memulai pekerjaan besar di wilayah
dengan bentang setara London-Moskwa ini? Di tangan pria Jerman, Timo
Scheunemann (38), peta jalan pembinaan usia muda itu dicoba
direkonstruksi.
Garis besar peta jalan pembinaan usia muda di
Indonesia, seperti dijabarkan Timo—panggilan akrabnya—dalam modul lebih
dari 200 halaman yang dipaparkan pada pelatihan di Malang, Jawa Timur,
15-25 Januari, berkisar pada pendirian enam Akademi Nusantara dan posisi
pengurus cabang (pengcab) sebagai garda terdepan pengelola kompetisi
usia muda antar-SSB (U-12, U-14, U-16, dan U-18).
Pengcab yang
berada di level kabupaten atau kota diharapkan bisa memutar kompetisi
empat kelompok umur itu antar-SSB di daerahnya setiap pekan.
”Tak
harus berbentuk liga atau turnamen. Yang penting banyak pertandingan
dan berjalan tiap pekan,” papar mantan Pelatih Persema Malang itu.
Kompetisi,
turnamen, atau apa pun istilahnya menjadi dasar pemanduan bakat
talenta-talenta muda di Tanah Air. Tim juara tiap kelompok umur di
setiap pengcab diadu di level provinsi. Juara provinsi kembali diadu di
tingkat wilayah—ada enam wilayah yang juga menjadi lokasi Akademi
Nusantara—dan keenam juara wilayah itu tampil di tingkat nasional dengan
arena Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta.
”Model
kompetisi seperti itu tidak akan mengganggu sekolah pemain. Turnamen di
level provinsi, wilayah, dan nasional itu kira-kira hanya sepekan,” ujar
Timo.
Enam wilayah lokasi Akademi Nusantara adalah Padang, Bandung, Malang, Balikpapan, Makassar, dan Manokwari.
Kecuali
Padang yang mengambil tempat di Universitas Negeri Padang, akademi itu
memanfaatkan fasilitas TNI atau Angkatan Laut (AL). Timo menjelaskan,
selain untuk menekan biaya, lapangan fasilitas TNI dan AL itu bagus, ada
suasana disiplin, dan memudahkan pengawasan. Siswa akademi tidak
dipungut biaya, termasuk biaya pendidikan mereka di sekolah terdekat.
Setiap
akademi diisi 44 talenta muda terbaik di tiap wilayah (22 pemain U-17
dan 22 pemain U-19), berawal dari hasil pemanduan bakat di 37 kota dari
Banda Aceh hingga Jayapura. Talenta terbaik dari semua akademi itulah
bahan baku tim elite kelompok umur nasional yang digodok lagi di
Jakarta.
Begitulah ringkasnya. Peta jalan pembinaan usia muda ini
belum melibatkan klub, tetapi tergambar beratnya tantangan. Masalah
sumber daya manusia, dana, konsistensi, koordinasi, kasus pencurian
umur, pemain titipan, dan lain-lain merupakan tantangan yang tak ringan.
Namun, aksi nyata harus dimulai. Jepang melakukan itu 20-an tahun
silam. Jika tak sekarang, kapan lagi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar