Akhir-akhir ini harga bawang melonjak naik, Terkait krisis bawang setidaknya ada 2 hal yang patut kita cermati:
Pertama Kesalahan kebijakan dan berbelitnya aturan main yang dibuat
pemerintah dalam memenuhi kebutuhan harian masyarakat. Mentan Suswono
mengakui pemerintah terlambat mengeluarkan Rekomendasi Impor Produk
Hortikultura (RIPH). Sehingga importir tak bisa memasukkan bawang putih
ke dalam negeri. Kok bisa? Masih menurut Mentan, semestinya daftar
importir sudah masuk semenjak bulan Desember, karena ada sekitar 3.300
dokumen yang harus ditandatangani Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Pertanian (P2HP) untuk setiap komoditas yang diimpor. Duh, rumitnya..
Di sisi lain Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) menyalahkan
ketidak-mampuan pemerintah dalam menangani praktek kartel atau monopoli
pasar dari sekelompok pengusaha, sengaja menimbun stok barang agar
harganya melambung.
Kedua Pemerintah bermaksud membatasi kuota
impor agar menjadi insentif pendukung swasembada. Nampaknya kebijakan
yang pro rakyat. Namun harus difahami masyarakat bahwa bawang putih
adalah tanaman subtropis yg bisa tumbuh bagus di dataran tinggi seperti
daerah Berastagi Sumut atau di kaki gunung Merapi. Tidak semua tempat
cocok untuk menanam bawang putih. Memang kebijakan untuk wujudkan
swasembada harus dilakukan! Namun bila dilakukan tanpa menyiapkan diri
tentu akan berakibat fatal pada banyak aspek kehidupan masyarakat.
Akibat langka dan mahalnya bawang, ibu-ibu menjerit karena uang
belanjanya makin tak mencukupi, para pedagang kehilangan barang dagangan
dan keuntungannya menipis, para pengusaha makanan olahan makin banyak
menggunakan MSG yang tidak thayyib dsb.
Apakah petani bawang
diuntungkan? Tidak juga. Karena kenaikan bawang ini memicu inflasi.
Harga semua barang kebutuhan pokok ikut naik. Bahkan pemerintah pun
repot karena harus menjaga agar tingkat inflasi tidak mempengaruhi
tingkat suku bunga. bila tidak maka ekonomi negara tidak lagi stabil.
Inilah karakter hukum buatan manusia. Serba kontradiktif, rentan
kepentingan pihak-pihak tertentu dan tidak mampu menyelesaikan masalah
secara tuntas. Dalam kitab Sistem Ekonomi Islam, syeikh Taqiyuddin
menguraikan bagaimana solusi Islam mengatasi harga barang yang melambung
dan kelangkaan.
1) ada larangan penimbunan (ihtikar). Para
penimbun adalah orang-orang yang membeli barang dalam rangka
menyimpannya sehingga barang tersebut tidak ada di pasar dan dia bisa
memaksakan harga yang tinggi atas barang tersebut karena kelangkaannya.
2) setiap WN boleh mengimpor barang dan tidak akan dihadapkan pada
administrasi berbelit bila barang tersebut memang bermanfaat bagi
masyarakat dan juga bila pengusaha kita bisa membelinya dari asing tanpa
syarat yang menjerat. Jangan dibayangkan bahwa kebijakan ini akan
membuat pasar dalam negeri kebanjiran produk asing dan akan membunuh
hasil produksi petani lokal. Karena prinsip kebebasan kepemilikan tidak
akan menjadi mentalitas pengusaha-pengusaha Islam.
3) Insentif
yang paling diharapkan petani sesungguhnya adalah kebijakan integral
pemerintah berupa lahan yang memadai (negara bisa member iqtha' atas
tanah kepada petani), benih dan pupuk yang murah karena subsidi,
pengarahan tanam dan perawatan tanaman dengan penyuluhan kepada petani,
transportasi yang mudah dan murah karena infrastuktur jalan dan
kendaraan yang layak, juga BBM murah dan paling penting adalah adanya
pasar yang adil karena tidak ada monopoli, tidak ada penimbunan dan
tidak ada pematokan harga. Demikian pula bertumpunya ekonomi pada sektor
pertanian, produksi, perdagangan dan industri akan menstabilkan harga
dan meniadakan laju inflasi. Tidak sebagaimana hari ini yang masih
bertumpu pada sektor non riil serta manusia beraktifitas ekonomi dengan
asas kebebasan memiliki dan melakukan tindakan apa pun..
SUMBER
Tidak ada komentar:
Posting Komentar