Sistem Ujian Nasional Vs Sistem Ujian Pendidikan Khilafah
Tanggal 2 Mei adalah hari pendidikan Nasional. Sekarang bangsa
Indonesia sudah memasuki tahun 2013, berarti bangsa ini sudah ”merdeka”
selama 68 tahun. Tentu kita patut bertanya, apa kabar dunia pendidikan
Indonesia? Sudahkah dunia pendidikan memberikan kontribusi SDM unggul
yang mampu menjadikan bangsa Indonesia maju?.
Berhasilnya
pendidikan suatu bangsa menjadikan bangsa itu bangkit untuk mencapai
kemajuan. Sebaliknya mundurnya suatu bangsa karena gagalnya pendidikan,
untuk membangkitkannya melalui pemikiran. Jika di perhatikan bangsa-
bangsa di dunia ini tidak ada yang hancur karena kemiskinanya. Akan
tetapi hancurnya bangsa, karena bangsa itu tidak berhasil menjadikan
pemikiran sebagai pijakan kebangkitan karena gagalnya pendidikan.
Karena pemikiran manusia rusak, maka kerusakan terjadi di seluruh aspek
kehidupan.
Di bidang politik, banyak politikus yang praktek
politik ’dagang sapi’, di bidang hukum ada mafia peradilan, sehingga
kebenaran tidak lagi memihak pada yang benar, akan tetapi kebenaran
memihak siapa yang mempunyai kekuasaan dan uang. Apalagi korupsi hampir
bisa ditemukan di seluruh bidang, termasuk pendidikan. Lulusan perguruan
tinggi masih banyak yang tawuran, membawa senjata tajam, merusak kampus
dan gedung yang lain. Inilah akibat kegagalan pendidikan, yaitu
kerusakan di mana-mana.
Carut marut pendidikan kita ternyata
sejak dari visi, misi, tujuan, kurikulum , metode sampai pada evaluasi
pendidikan. Bahkan tidak hanya tataran konsep, tapi hal yang teknis pun
demikian. Kisruh Ujian Nasional (UN) yang baru-baru ini terjadi
merupakan bukti nyata atas semua kondisi memprihatinkan tersebut.
UN tidak mampu mencapai tujuan pendidikan Nasioanal.
Menurut Herwindo, Ph.D dalam makalahnya pada Konvensi Nasional
Pendidikan Indonesia II, menyebutkan bahwa target dari evaluasi
pendidikan adalah untuk mengetahui apakah tujuan pendidikan nasional
sebagaimana yang disampaikan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional sudah tercapai atau belum.[1]
Adapun tujuan pendidikan
nasional dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 dan Undang-Undang No 2
tahun 1989, adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang mandiri serta demokratis[2]
Dengan demikian
jelas UN tidak bisa sebagai alat mengukur keberhasilan pendidikan,
karena untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah disebutkan di atas,
UN hanya mampu menunjukkan kompetensi dalam ranah kognitif, yaitu hanya
satu tujuan berilmu, itu pun kalau jujur. Karena sudah menjadi rahasia
umum siswa dapat bocoran soal, jawaban dari yang lain, termasuk gurunya.
Lalu bagaimana dengan tujuan yang lain yaitu menjadi manusia beriman
dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang mandiri serta
demokratis?. Apakah tujuan ini bisa dinilai dengan UN?. Apakah siswa
yang melakukan pergaulan bebas, bisa dijamin tidak lulus UN karena tidak
berakhlak mulia?.
Kerusakan sistem UN ini sangat parah.
Sudahlah hanya menilai sisi kognitif nya saja, itu pun ternyata tidak
semua pelajaran masuk dalam UN. Tentu saja penilaian semacam ini tidak
akurat dan tidak mampu mempresentasikan kemampuan siswa yang sebenarnya.
Misalnya untuk SD dari 10 pelajaran, yang diujikan hanya 3 mata
pelajaran yaitu Bahasa Indonesia, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Sedangkan untuk SMP dari 12 mata pelajaran yang diujikan hanya 4 mata
pelajaran, yaitu Bahasa Indonesia, Matematika, ilmu Pengetahuan Alam dan
Bahasa Inggris.
Konsep Evaluasi Pendidikan Khilafah Handal
Tujuan pendidikan pada Madrasah Ibtidaiyah, Mutawasithah dan Tsanawiyah
atau SD-SMP-SMU dalam Negara Khilafah adalah: Pertama, membentuk
Generasi Berkepribadian Islam. Yaitu membentuk pola tingkah laku anak
didik yang berdasarkan pada akidah Islam, senantiasa tingkah lakunya
mengikuti Al Qur’an dan Al Hadis). Kedua, Menguasai Ilmu Kehidupan
(Keterampilan dan Pengetahuan). Yaitu menguasai Ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk mengarungi kehidupan yang diperlukan, agar dapat
berinteraksi dengan lingkungan, menggunakan peralatan, mengembangkan
pengetahuan sehingga bisa inovasi dan berbagai bidang terapan yang lain.
Ketiga, Mempersiapkan anak didik memasuki jenjang sekolah berikutnya.
Pada tingkat perguruan tinggi ilmu yang didapat tersebut bisa
dikembangkan sampai derajat pakar di berbagai bidang keahlian, ulama’,
dan mujtahid.
Evaluasi pendidikan dalam sistem pendidikan pada
masa Khilafah Islamiyah handal dan dilakukan secara komprehensif, untuk
mencapai tujuan pendidikan. Ujian umum diselenggarakan untuk seluruh
mata pelajaran yang telah diberikan[3]. Ujian dilakukan secara tulisan
dan lisan. Munadhoroh adalah teknik ujian lisan mengenai suatu ilmu.
Ujian lisan ini merupakan teknik ujian yang paling sesuai untuk
mengetahui sejauh mana pengetahuan siswa untuk memahami pengetahuan yang
telah dipelajari.[4] Ujian lisan dilakukan baik secara terbuka maupun
tertutup. Di samping itu tentu ada ujian praktek pada keahlian
tertentu. Siswa yang naik kelas atau lulus harus dipastikan mampu
menguasai pelajaran yang telah diberikan dan mampu mengikuti ujian
sebaik-sebaiknya.[5] Tentu saja siswa-siswa yang telah dinyatakan
kompeten/lulus adalah siswa-siswa yang betul-betul memiliki kompetensi
ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya dan bersyakshiyah Islamiyah
atau memiliki pola tingkah laku yang Islami.
Pada masa
pemerintahan Khalifah Al Fatih, pendidikan Islam semakin maju. Karena Al
Fatih adalah Khalifah yang hebat. Di samping mampu menaklukkan
Konstantinopel, sebuah kota pertahanan militer paling kuat saat itu,
beliau juga sangat perhatian terhadap pendidikan. Khalifah Al Fatih
rahimallahu anhu mengeluarkan hartanya pribadi untuk membangun
sekolah-sekolah di seluruh kota besar dan kecil. Sebagai kepala Negara,
Khalifah Al Fatih menetapkan manajemen sekolah, mengatur dalam jenjang
dan tingkatan-tingkatan, menyusun kurikulum pada setiap level, termasuk
sistem ujian untuk semua siswa[6].
Lebih dari itu Muhammad Al
Fatih sebagai kepala Negara Khilafah yang wilayahnya sangat luas sekitar
2/3 dunia, masih menyempatkan waktu untuk memonitor dan membimbing
pendidikan rakyatnya. Bahkan Al Fatih tidak jarang datang ke sekolah,
mendengarkan bagaimana guru mengajar. Beliau juga mengunjungi saat siswa
ujian. Dan perhatiannya pada dunia pendidikan juga ditunjukkan dengan
memberikan hadiah pada siswa berprestasi, padahal pendidikan
diselenggarakan Negara Khilafah untuk rakyatnya secara gratis.[7]
Pada tingkat perguruan tinggi sistem ujian yang handal meliputi ujian
praktek, ujian tertulis dan ujian lisan. Ujian Lisan diadakan secara
terbuka, para penguji bisa guru/dosen/profesor yang mengajar di lembaga
pendidikan tersebut. Untuk suatu keahlian tertentu penguji dari internal
dan eksternal. Ulama’ dan para intelektual manapun berhak untuk
menguji.
Hak- hak istimewa setelah lulus ujian, boleh melakukan
perbuatan: Mengajarkan ilmunya; Meriwayatkan hadits Rasulullah yang
berasal dari guru-gurunya; Berfatwa, Mengobati penyakit, bila sudah
menguasai ilmu kedokteran; Meracik obat, bila sudah menguasai ilmu
obat-obatan; dan lain lain.
Dari uraian di atas terbukti hanya
dengan sistem Pendidikan Islam yang berada dalam naungan pemerintahan
Islamlah, Ujian bisa beres dan mencapai tujuan pendidikan Islam bisa
tercapai secara sempurna. Hanya Khilafah lah yang memfasilitasi
kewajiban kaum muslimin berpendidikan. Sabda Rasulullah:
طلب العلم فريضة على كل مسلم
Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim
Oleh karena itu kita harus meninggalkan sistem pendidikan sekuler. Yang
itu berarti harus membuang jauh-jauh sistem politik demokrasi, dan
sebagai gantinya kita terapkan sistem pendidikan Islam dalam bingkai
Khilafah Islamiyah. Allahu A’lam.
[1]. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia II, Kurikulum
untuk Abad 21, Jakarta, PT Grasindo, 1994,hlm 236
[2]. Undang undang Republik Indonesia no 20, tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional( Sisdiknas)
[3]. Abu Yasin, Ususu Ta’lim fi Daulah al Khilafah, Bogor, Pustaka Thariqu Izzah, tahun 2004, cetakan kesatu, hlm 69-70
[4] Abdurrahman al Baghdadi dalam karyanya Sistem Pendidikan di masa Khilafah Islam, Bangil: Al Izzah, tahun 1996, hlm 87
[5] Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi, Bangkit dan runtuhnya Khilafah
utsmaniyah, Jakarta, Pustaka al Kautsar, tahun 2004, cetakan kedua, hlm
179-180
[6] Ibid
[7] Ibid
Oleh: Rahma Qomariyah, M.Pd.I
(Kandidat Doktor Pendidikan Islam dan DPP Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar