Jabariyah
1.
Asal-Usul Pertumbuhan Jabariyah
Kata Jabariyah berasal dari
kata jabara yang berarti memaksa. Di dalam Al-Munjid, menjelaskan
bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung
arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Lebih lanjut
Asy-Syahratsani menegaskan bahwa paham al-jabr berarti menghilangkan
perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada
Allah. Dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan
terpaksa. Dalam bahasa Inggris, Jabariyah disebut fatalism atau predestination,
yaitu faham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari
semula oleh qadha dan qadar Tuhan.
Untuk mengetahui lebih lanjut
mengenai asal-usul kemunculan dan perkembangan Jabariyah, perlu
dijelaskan mengenai orang yang melahirkan dan menyebarluaskan faham al-jabar
dan dalam situasi apa saja faham ini muncul. Faham al-jabar pertama kali
diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham, kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shafwan
dari Khurasan. Namun, dalam perkembangannya, faham al-jabar juga
dikembangkan oleh tokoh lainnya di antaranya Al-Husain bin Muhammad An-Najjar
dan Ja’d bin Dirrar.
Mengenai kemunculan faham al-jabar
ini, para ahli sejarah pemikiran mengkajinya melalui pendekatan geokultural
bangsa Arab. Di antara ahli yang dimaksud adalah Ahmad Amin. Ia menggambarkan
bahwa kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir Sahara memberikan
pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka. Kerasnya keadaan gurun pasir inilah
yang membawa mereka kepada sikap fatalism.
Berkaitan dengan kemunculan aliran Jabariyah,
ada yang mengatakan bahwa kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh pemikiran
asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab Qurra dan agama Kristen
yang bermazhab Yacobit. Namun, tanpa pengaruh asing itu, faham al-jabar
akan muncul juga di kalangan umat Islam. Di dalam Al-Qur’an sendiri terdapat
ayat-ayat yang dapat menimbulkan faham ini, misalnya:
Artinya: “Padahal Allah-lah
yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. (QS. Ash-Shaffat/37:
96)
Artinya: “Tiada suatu
bencanapun yang menimpa di bumi dan (Tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan
Telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”. (QS. Al-Hadid/57:
22)
Artinya: “Dan kamu tidak
mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah
adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Insan/76: 30)
Ayat-ayat di atas terkesan membawa
seseorang pada alam pikiran Jabariyah. Mungkin inilah yang menyebabkan
pola pikir Jabariyah masih tetap ada di kalangan umat Islam hingga kini
walaupun anjurannya telah tiada.
2.
Para Tokoh Jabariyah dan Doktin-Doktrinnya
Menurut Asy-Syahratsani, Jabariyah
dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, ekstrim dan moderat. Di
antara tokoh Jabariyah ekstrim adalah sebagai berikut:
Ja’d bin Dirham
Al-Ja’d adalah seorang Maulana Bani
Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di dalam lingkungan orang Kristen
yang senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar di
lingkungan pemerintah Bani Umayah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya
yang kontroversial, Bani Umayah menolaknya. Kemudian Al-Ja’d lari ke Kufah dan
di sana ia bertemu dengan Jahm, serta mentransfer pikirannya kepada Jahm untuk
dikembangkan dan disebarluaskan.
Al-Ghuraby sebagaimana yang dikutib
oleh Abdul Rozak menjelaskan doktrin pokok Ja’d sebagai berikut:
1)
Al-Qur’an itu adalah makhluk.
Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatkan kepada
Allah.
2)
Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat, dan mendengar.
3)
Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-segalanya.
Jahm bin Shafwan
Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus
Jaham bin Shafwan. Ia berasal dari Khurasan, bertempat tinggal di Khuffah; ia
seorang da’i yang fasih dan lincah (orator). Ia menjabat sebagai
sekretaris Harits bin Surais, seorang mawali yang menentang pemerintah Bani Umayah
di Khurasan. Ia ditawan kemudian dibunuh secara politis tanpa ada kaitannya
dengan agama. Sebagai seorang penganut dan penyebar faham Jabariyah, banyak
usaha yang dilakukan Jahm yang tersebar ke berbagai tempat, seperti ke Tirmidz
dan Balk.
Pendapat Jahm yang berkaitan dengan
persoalan teologi adalah sebagai berikut:
1)
Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa.
Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai
pilihan.
2)
Surga dan neraka tidak kekal.
Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
3)
Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama dengan konsep iman yang
dimajukan kaum Murji’ah.
4)
Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah
Mahasuci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti berbicara,
mendengar, dan melihat.
Berbeda dengan Jabariyah ekstrim,
Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan
manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai
bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek
untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab. Menurut faham
kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti
wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan,
tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan.
Adapun tokoh-tokoh dari faham
Jabariyah moderat adalah sebagai berikut:
An-Najjar
Nama lengkapnya adalah Husain bin
Muhammad An-Najjar (wafat 230 H). Para pengikutnya disebut An-Najjariyah
atau Al-Husainiyah. Di antara pendapat-pendapatnya:
1)
Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian
atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu.
2)
Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat.
Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahkan potensi
hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.
Adh-Dhirar
Nama lengkapnya adalah Dhihar bin
Amr. Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan Husein An-Najjar, yakni
bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang. Manusia
mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa
dalam melakukan perbuatannya. Secara tegas Dhihar mengatakan bahwa satu
perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan
manusia tidak hanya ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusia itu
sendiri. Manusia turut berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Mengenai ru’yat Tuhan di akhirat,
Dhihar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui indera
keenam. Ia juga berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima setelah Nabi
adalah ijtihad. Hadits ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam
menetapkan hukum.
C. Qadariyah
1.
Asal-Usul Kemunculan Qadariyah
Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang artinya
kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian terminologi, Qadariyah adalah
suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh
Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala
perbuatannya; Ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya
sendiri.
Golongan Qadariyah ini
beri’tikad bahwa pekerjaan manusia itu tidak ada sangkut pautnya dengan Tuhan
Allah. Apa yang diperbuat manusia, tidak diketahui oleh Allah swt. sebelumnya;
dan baru Allah swt. mengetahuinya setelah diperbuat oleh manusia. Allah
sekarang tidak bekerja lagi, karena kodrat-Nya telah diberikan kepada manusia,
dan Dia hanya melihat dan memperhatikan saja.
Kalau manusia mengerjakan perbuatan
yang baik, maka ia akan diberi pahala oleh Allah, karena ia telah memakai
kodrat yang telah diberikan Allah dengan sebaik-baiknya. Tetapi ia dihukum
kalau kodrat yang diberikan oleh Allah kepadanya tidak dipakai menurut
semestinya.
Dalam hal ini, Harun Nasution
menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia
mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan
berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pda qadar Tuhan. Sebutan
ini diberikan kepada para pengikut faham qadar oleh lawan mereka dengan
merujuk Hadits yang menimbulkan kesan negative bagi nama Qadariyah.
Hadits itu berbunyi:
اَلْقَدَرِيَّةُ
مَجُوْسُ هذِهِ اْلأُمَّةِ
Artinya: “Kaum Qadariyah
adalah majusinya umat ini”.
2. Para Tokoh Qadariyah dan Doktrin-Doktrinnya
Qadariyah muncul sekitar tahun 70 H/689 M. Sedangkan menurut Ahmad
Amin, ada ahli teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama sekali
dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqy. Ma’bad adalah
seorang taba’i yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasal Al-Basri.
Adapun Ghailan adalah seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi
maula Utsman bin Affan. Kedua tokoh Qadariyah di atas mati dibunuh,
Ghailan dibunuh pada masa Hisyam ibn Abdul Malik dan Ma’bad dibunuh
karena dituduh terlibat dalam pemberontakan bersama dengan Abdurrahman
Al-Asy’ats.
Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh
Al-Uyun, seperti yang dikutip Ahmad Amin, memberi informasi lain bahwa yang
pertama sekali memunculkan faham Qadariyah adalah orang Irak yang semula
beragama Kristen kemudian masuk Islam dan balik lagi ke agama Kristen. Dari
orang inilah Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini.
Faham Qadariyah mendapat
tantangan keras dari umat Islam ketika itu. Ada beberapa hal yang mengakibatkan
terjadinya reaksi keras ini, pertama, seperti pendapat Harun Nasution,
karena masyarakat Arab sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi oleh faham fatalis.
Kehidupan bangsa Arab ketika itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan.
Mereka merasa irinya lemah dan tak mampu menghadapi kesukaran hidup yang
ditimbulkan oleh alam sekelilingnya. Faham itu terus dianut kendatipun mereka
sudah beragama Islam. Karena itu, ketika faham Qadariyah dikembangkan,
mereka tidak dapat menerimanya. Faham Qadariyah itu dianggap
bertentangan dengan doktrin Islam.
Kedua, tantangan dari pemerintah ketika itu. Tantangan ini sangat
mungkin terjadi karena para pejabat pemerintahan menganut paham Jabariyah.
Selain itu, pemerintah menganggap gerakan faham Qadariyah sebagai suatu
usaha menyebarkan faham dinamis dan daya kritis rakyat yang pada gilirannya
mampu mengkritik dan menentang kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap
tidak sesuai dan bahkan dapat menggulingkan mereka dari tahta kekuasaan.
Harun Nasution menjelaskan pendapat
Ghalian tentang doktrin Qadariyah, bahwa manusia berkuasa atas
perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik atas
kehendak maupun kekuasaannya sendiri dan manusia sendiri yang melakukan atau
menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Salah
seorang pemuka Qadariyah, yaitu An-Nazzam mengemukakan bahwa manusia
hidup mempunyai daya atau kekuatan sendiri. Selagi hidup manusia mempunyai
daya, ia berkuasa atas segala perbuatan yang ia lakukan.
Dari penjelasan yang ada dapat
dipahami bahwa doktrin atau ajaran Qadariyah pada intinya menyatakan
bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia
mempunyai kewenangan atau kehendak untuk melakukan segala perbuatan atas
kemauannya sendiri, baim perbuatan baik maupun perbuatan jahat. Oleh sebab itu,
manusia berhak mendapat pahala atas kebaikannya dan berhak pula memperoleh
hukuman atau dosa atas kejahatan yang diperbuatnya.
Dalam faham Qadariyah, takdir
itu adalah ketentuan Allah yang diciptakannya bagi alam semesta beserta seluruh
isinya sejak zaman azali, yaitu hukum yang dalam istilah Al-Qur’an adalah
sunnatullah, bukan takdir secara mutlak bahwa nasib manusia telah ditentukan
terlebih dahulu.
Dengan pemahaman seperti itu, kaum Qadariyah
berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyandarkan segala
perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Gejala-gejala dari faham Qadariyah
sekarang banyak kelihatan di Indonesia, umpamanya ada orang yang berkata:
- Bagaimanapun juga yang menentukan berhasil tidaknya suatu pekerjaan, pada akhirnya toh manusia itu sendiri.
- Tuhan Allah tidak bisa merubah nasib manusia, kalau tidak manusia itu sendiri yang merubah nasibnya.
- Perbuatan manusia itu dijadikan oleh manusia itu sendiri. Ini adalah faham dan I’tikad dari golongan Qadariyah.
Doktrin-doktrin Qadariyah di
atas mempunyai tempat pijakan di dalam Al-Qur’an yang dapat mendukung pendapat
mereka, yaitu QS Al-Kahfi ayat 29:
Artinya: “Dan Katakanlah:
“Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman)
hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir”.
Sesungguhnya kami Telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang
gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan
diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka.
Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.”(QS.
Al-Kahfi/18: 29)
Artinya: ”Bagi manusia ada
malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di
belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak
merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri
mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum,
Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi
mereka selain Dia.”(QS. Ar-Ra’d/13: 11)
artinya: “Sesungguhnya
orang-orang yang mengingkari ayat-ayat kami, mereka tidak tersembunyi dari
kami. Maka apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka lebih baik,
ataukah orang-orang yang datang dengan aman sentosa pada hari kiamat?
perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya dia Maha melihat apa yang kamu
kerjakan.”(QS. Fushilat/41: 40)
Melihat pada ayat-ayat di atas
tentang dalil Qadariyah walaupun penganut-penganutnya telah meninggal
tetap terdapat pemikiran dalam kalangan umat Islam. Dalam sejarah teologi Islam
selanjutnya paham Qadariyah dianut oleh kaum Mu’tazilah. Sedang
faham Jabariyah kendatipun tidak identik dengan faham yang dibawa Jahm
ibn Shafwan atau An-Najjar dan Dhirar terdapat dalam aliran Asy’ariyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar