Di tengah-tengah para sahabat, yang dikenal sebagai generasi terbaik, paling baik pemahamannya terhadap Kitabullah,
terdapat pribadi-pribadi istimewa yang dianugerahi akal fikiran yang
mengagumkan. Di antara mereka ada yang telah mencapai puncak kematangan
intelektual. Mereka hadir sebagai sosok yang memiliki kecemerlangan
berpikir. Salah satunya adalah Ibnu Abbas r.a., putra dari Abbas, paman sang Nabi Saw.
Ibnu Abbas r.a., ia adalah pribadi yang istimewa.
Sejak kecil ia sudah sering bersama Rasul Saw. Ketika ia masih belia,
pernah suatu saat di akhir malam ia sholat di belakang Nabi Saw. Lalu
Nabi Saw menarik tangannya agar berdiri di dekatnya. Tapi setelah Nabi
Saw kembali khusyuk dalam sholatnya, ia kembali mundur ke belakang. Usai
sholat, Nabi Saw bertanya kepadanya, “Mengapa engkau mundur padahal aku
menyuruhmu berdiri di dekatku?” “Apakah patut seseorang sholat di
dekatmu, sementara engkau adalah Rasulullah yang mulia?”, jawab Ibnu
Abbas r.a.
Nabi Saw kagum dan takjub dengan jawaban Ibnu Abbas r.a. Lalu dengan tulus Nabi Saw berdo’a kepada Allah, “Ya Allah, berilah ia pemahaman yang dalam tentang agama dan ajarilah ia takwil”.
Bila Nabi Saw telah berdo’a meminta kebaikan untuk seorang hamba,
adakah yang lebih membahagiakan dari pada hal itu? Aduhai, sungguh
beruntung Ibnu Abbas r.a.
Setelah do’a Sang Nabi terucap, seakan-akan setelah hari itu
kecerdasan hanyalah milik Ibnu Abbas. Ia menjadi ukuran kecerdasan di
antara anak-anak seusianya. Tidak, lebih dari itu. Orang-orang dewasa
pun menjadikan ia sebagai marja’ (rujukan). Pernah suatu ketika,
‘Umar bin Khaththab r.a. mengajak Ibnu Abbas r.a. ke sebuah majelis yang
dihadiri orang-orang dewasa. “Mengapa anak kecil ini engkau bawa kemari
wahai umar?”, kata salah seorang di dalam majelis tersebut. Bukannya
menjawab pertanyaan tersebut, Umar malah menyampaikan firman Allah, “Apabila
telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia
masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan
memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah
Maha Penerima taubat.” (QS. An Nashr: 1-3). “Bagaimana penafsiran ayat ini menurut kalian?”, tanya Umar.
Di antara mereka ada yang menjawab, “Kita diperintahkan untuk memuji
Allah dan bertaubat kepada-Nya, ketika kita diberi pertolongan dan
kemenangan”. Sebagian lagi menjawab, “Kami tidak tahu”. Lalu Umar
melirik Ibnu Abbas sambil bertanya, “Beginikah penafsiranmu tentang ayat
ini?” “Tidak”, jawab Ibnu Abbas. “Surat tersebut adalah pertanda
wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah dekat.
Allah memberitahunya dengan ayatnya: “Jika telah datang pertolongan
Allah dan kemenangan’, itu berarti penaklukan Makkah dan itulah tanda
ajalmu (Muhammad), karenanya “Bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan
mohonlah ampunan, sesungguhnya Dia Maha Menerima taubat”, tutur Ibnu
Abbas. “Aku tidak tahu penafsiran ayat tersebut selain seperti yang engkau ketahui“, kata Umar.”
Umar tahu betul kecerdasan Ibnu Abbas.
Itulah sebabnya ia perlihatkan kecemerlangan berpikir Ibnu Abbas di
hadapan orang-orang dewasa. Ibnu Abbas r.a. tumbuh menjadi pribadi yang
istimewa. Ia bisa menangkap isyarat-isyarat makna Al-Qur’an, ia mengerti
berkenaan tentang apa suatu ayat diturunkan, dan ia sangat paham
penunjukan makna dalam bahasa Al-Qur’an. Seperti pengakuan Ubaidullah
bin Utbah suatu saat. Ia pernah bertutur tentang Ibnu Abbas r.a., “Tidak
ada yang tahu syair dan bahasa Arab, tafsir Al-Qur’an, hisab dan
faraidh kecuali Ibnu Abbas.”
***
Ketika pemberontakan Khawarij pecah di Haruriyah, Ibnu Abbas r.a.
meminta izin kepada Ali r.a. untuk pergi menemui kaum Khawarij dan
mengajak mereka berdialog. Setelah Ali r.a. mengizinkannya, maka
berangkatlah Ibnu Abbas. Ia sampai di Haruriyah tepat tengah hari, saat
dimana mereka sedang tidur siang.
Sesaat kemudian, orang-orang Khawarij bungkam. Mereka menemukan
kebenaran dalam setiap argumen Ibnu Abbas r.a. Ia berpikir dengan sangat
brilian. Sedikit sekali sahabat Nabi Saw secemerlang Ibnu Abbas r.a.
4000 orang-orang Khawarij bertaubat. Mereka kembali kepada kebenaran
setelah berhadapan dengan sepupu Sang Nabi tersebut.
Ibnu Abbas telah mengajari kepada kita bagaimana seharusnya seorang
mukmin berpikir, memupuk pemahaman, dan menyampaikan argumentasi. Pernah
suatu ketika ia ditanya cara mendapatkan ilmu. Dengan begitu meyakinkan
beliau menjawab, “Dengan lidah yang banyak tanya dan hati yang banyak
paham”. Sederhana memang. Tetapi itulah kuncinya. Kecemerlangan berpikir
dan hebatnya argumentasi tidak datang dengan sendirinya, ia harus
diusahakan. Kematangan intelektual pun tidak lahir dengan begitu saja,
ia didapat setelah berlelah-lelah dalam menuntut ilmu. So, kalo pengen
pinter bin cerdas, tirulah Ibnu Abbas. Nggak gampang bete kalo lagi
belajar dan nggak pernah bosan untuk menyampaikan. Semangat! [disadur dari tulisan Kusnady Ar-Razi]
http://drise-online.com/berpikir-secerdas-ibnu-abbas/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar