Dalam
al-Quran, Allah SWT menyatakan bahwa orang-orang yang menunaikan puasa di bulan
Ramadhan dengan sebaik-baiknya akan menjelma menjadi manusia yang bertakwa (Lihat:
QS al-Baqarah [2]: 183).
Orang Mukmin yang bertakwa
adalah orang yang tunduk pada semua aturan Allah, melaksanakan semua yang
diperintahkan dan meninggalkan semua yang dilarang-Nya, serta mempersiapkan
diri menyongsong tibanya Hari Kematian. Ketundukan seorang Mukmin kepada
Allah merupakan implementasi dari rasa syukurnya kepada-Nya yang telah
memberinya segala yang ia miliki, termasuk memberinya al-Quran sebagai
petunjuk, penjelas, dan pembeda antara yang baik dan yang buruk; antara yang
haq dan yang batil; antara yang terpuji dan yang tercela; serta antara jalan
kebahagiaan dan jalan kecelakaan. (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 185).
Selanjutnya, Allah SWT juga
berfirman:
]وَلِتُكْمِلُوا
الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ[
Hendaklah kalian mencukupkan
bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepada kalian supaya kalian bersyukur. (TQS al-Baqarah [2]: 185).
Melalui ayat ini Allah
mengajarkan kepada kita bahwa setelah selesai menjalankan ibadah puasa, kita
harus takbir atau mengagungkan Allah dan bersyukur kepada-Nya. Takbir artinya
mengagungkan Allah dan mengecilkan apa saja selain Allah, sementara tasyakur
artinya menggunakan seluruh anugerah Allah sesuai dengan kehendak-Nya.
Dalam ibadah shaum, takbir kita
cerminkan dengan mengecilkan pengaruh hawa nafsu dan menghidupkan kebesaran
Allah dalam hati kita. Ketika kita membaca al-Quran, kita mengecilkan seluruh
pembicaraan manusia dan hanya membesarkan Kalamullah. Ketika kita berdiri
shalat malam di bulan Ramadhan, kita mengecilkan seluruh urusan dunia ini dan
hanya mengagungkan perintah Allah. Seluruh ibadah kita adalah dalam rangka
mengagungkan Allah dan mengecilkan selain-Nya.
Setelah menyelesaikan seluruh
ibadah ini, Allah masih juga memerintahkan kita untuk bertakbir. Bukankah dalam
puasa kita sudah mengagungkan Allah? Bukankah dalam tarawih dan tadarus kita
juga sudah mengagungkan Allah? Mengapa kita masih harus bertakbir lagi?
Allah tahu, kita sering
bertakbir dalam ibadah-ibadah kita, tetapi sering bersikap takabur di luar itu.
Kita mengagungkan Allah di masjid, tetapi di luar masjid kita mengagungkan yang
lain. Kita mengagungkan kekayaan, kekuasaan, dan kedudukkan; kita juga
membesarkan hawa nafsu, kepentingan, dan pikiran kita. Di atas tikar
sembahyang, di masjid, di mushala, di tempattempat ibadah kita menggemakan
takbir. Sebaliknya, di kantor, di pasar, di ladang, di tengah-tengah masyarakat
kita menggemakan sikap takabur.
Di kantor, misalnya, jabatan
yang seharusnya kita gunakan untuk melayani rakyat, membela yang lemah, dan
menyantuni yang memerlukan pertolongan kita manfaatkan untuk memperkaya
diri walaupun mengorbankan rakyat kebanyakan.
Kita juga takabur ketika kita
melakukan tindakan apa pun tanpa memperdulikan halal dan haram. Allah yang kita
agungkan dalam shalat dan doa kita, kita kecilkan dalam hidup kita. Dalam puasa
kita menahan diri untuk tidak memakan makanan dan minuman yang halal, tetapi
kita berbuka dengan makanan dan minuman yang haram. Bibir kita kering karena
kehausan, perut kita kempis karena kelaparan, tetapi tangan-tangan kita kotor
karena kemaksiatan. Di masjid kita khusyuk melakukan shalat, tetapi di luar
masjid kita sering asyik melakukan maksiat. Di masjid kita fasih melafalkan
al-Quran, sementara di luar masjid kita lebih fasih lagi memperdayai al-Quran.
Satu-satunya jalan yang telah
diberikan Allah kepada kita semua untuk senantiasa bisa menggemakan takbir
dalam seluruh kehidupan kita adalah melalui pengamalan al-Quran. Sayang,
petunjuk itu banyak diabaikan begitu saja oleh umat Islam. Soal ini, jauh hari
sudah dikeluhkan oleh Nabi saw:
]وَقَالَ الرَّسُولُ
يَارَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْءَانَ مَهْجُورًا[
Berkatalah Rasul, “Ya, Tuhanku,
sesungguhnya kaumku menjadikan al-Quran ini suatu yang tidak diacuhkan.” (TQS
al Furqan [25]: 30).
Mufasir ternama, Imam Ibn
Katsir, dalam kitab Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, menyatakan bahwa siapa
saja yang dibacakan kepadanya al-Quran, tetapi tidak mau mendengarkan dan
membenarkan apa yang dikandungnya berarti ia telah tidak mengacuhkan
al-Quran. Begitu pula orang yang tidak
mau mengambil hukum dari al-Quran, dan sebaliknya malah berhukum pada hukum thâghût
baik yang diambil dari paham sekular Barat maupun dari tradisi atau kebiasaan
nenek moyang. Padahal, secara i’tiqadî, siapa pun yang berpaling dari
peringatan Allah dalam al-Quran dan as-Sunnah niscaya akan ditimpa kesengsaraan
hidup.
﴿وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى﴾
Siapa saja yang berpaling dari
peringatan-Ku, sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan
menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta. (TQS Thaha [20]: 124).
Sejak awal, Allah telah
memerintahkan kita untuk hanya mengikuti jalan-Nya, yaitu Dinul Islam, dan
melarang kita untuk mengikuti jalan hidup lainnya. Dengan mengikuti jalan
Islam, kita akan bersatu dan mendapatkan rahmat. Sebaliknya, dengan
meninggalkan Islam kita pasti akan tercerai-berai dan hidup dengan penuh
penderitaan.
]وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ
وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ
وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ[
Ini adalah jalan-Ku yang lurus. Karena
itu, ikutilah jalan itu, dan janganlah mengikuti jalan-jalan yang lain, karena
jalan-jalan itu akan menceraiberaikan
kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kalian agar
kalian bertakwa. (TQS al-An‘am [6]: 153).
Karena tercerai-berai, umat
Islam menjadisemakin lemah, terjajah, tidak mandiri dan senantiasa hidup dalam
tekanan kekuatan asing yang memang ingin terus menerus menguasai negeri-negeri
Islam. Dalam hal ini, Rasulullah saw., sebagaimana dituturkan Tsauban, bersabda:
«يُوْشَكُ اَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمُ اْلاُمَمُ كَمَا تَدَاعَى اْلاَكَلَّةَ عَلَى قَصْعَتِهَا»
Kelak, bangsa-bangsa lain akan
memperebutkan kalian, sebagaimana (mereka) memperebutkan makanan untuk
meremukannya. (HR Abu Dawud).
Kekuatan-kekuatan asing itu
kini tampak tengah mencengkeramkan kakinya di hampir seluruh negeri-negeri
Muslim, termasuk Indonesia. Dunia Islam adalah bagian dunia yang sangat kaya
akan sumberdaya alam dan strategis dari sudut geopolitik. Pada saat yang sama,
hegemoni AS atas Dunia Islam berpeluang untuk mendapatkan tantangan dari
gerakan Islam. Karena itu, sebelum membesar, gerakan Islam harus dihancurkan
lebih dulu. Untuk memberikan efek global, dirancanglah apa yang mereka sebut
Perang Global Melawan Terorisme (the global war on terrorism). Melalui
peristiwa 11 September 2001 tercipta
stigma bahwa teroris adalah gerakan Islam, dan setiap teroris harus diberangus.
Walhasil, perang melawan teroris tidak lain adalah perang melawan gerakan
Islam.
Soal rencana memerangi gerakan
Islam sesungguhnya sudah dicanangkan sejak sekitar 10 tahun yang lalu. Awal
tahun 1992, Presiden Israel, Herzog, misalnya, di depan parlemennya pernah
menyatakan, “Penyakit (Islam fundamentalis) sedang menyebar secara cepat dan
merupakan sebuah bahaya tidak hanya untuk masyarakat Yahudi, tetapi juga bagi
kemanusiaan secara umum.”
Mantan PM Israel Simon Peres
juga pernah menyatakan hal yang sama.
Selanjutnya, pada 20 September 2001, beberapa
hari pasca Peledakan WTC, di depan Kongres, Presiden Bush memberi ultimatum
kepada dunia, “Setiap negara di mana pun harus memutuskan: Apakah akan
bersama kami atau bersama teroris. Mulai hari ini, setiap negara yang terus
mendukung teroris akan dianggap oleh AS sebagai rezim musuh.”
Karena berkuasa, AS seolah
boleh melakukan apa pun. AS boleh membunuhi siapa saja yang mereka
suka. Serangannya ke Afganistan yang
jelas-jelas membunuh lebih dari 6000 warga sipil (dua kali lipat korban WTC)
tidak dianggap sebagai tindakan teroris, tetapi dikatakan sebagai aksi balasan
(retaliation act).
Di Indonesia, dalam kasus “Bom
Bali”, jenis bom tidak tuntas diteliti, informasi-informasi yang
mengindikasikan adanya skenario intelijen asing dalam peledakan Bali tidak
diindahkan, tersangka hanya diarahkan ke dalam negeri, pesantren dicap sebagai
sarang teroris, serta beberapa tokoh Islam ditangkap dan dibuat takut. Di
Australia, umat Islam dari Indonesia digeledah.
Keadaan di negeri Muslim lain
pun tidak jauh berbeda. Irak, misalnya, meski telah menerima resolusi PBB dan
tim inspeksi senjata PBB, AS tetap berencana untuk menggempur negeri kaya
minyak. Bila serangan ini benar-benar terjadi, niscaya yang bakal menjadi
korban adalah juga kaum Muslim, Sementara itu, di Filipina, Rusia, Uzbekistan,
Azarbeijan, Kyrgistan, Tajikistan, Pakistan, dan di hampir semua negara Timur
Tengah dan Afrika Utara, aktivis gerakan-gerakan Islam terus ditangkapi. Pada
saat yang sama, Israel dengan leluasa terus membunuhi warga Palestina dan
menyerukan agar pendudukan Israel semakin diperluas. Aksi brutal Israel itu
terus berlangsung nyaris tanpa perlawanan. Tidak pula ada cap teroris buat
mereka. Para pengasa di negeri-negeri Muslim diam seribu bahasa, dan kita, umat
Islam, hanya dapat mengelus dada. Umat Islam yang jumlahnya lebih dari 1,2
miliar bagaikan buih; banyak tetapi tak berdaya. Umat Islam juga bagaikan
makanan yang dikerubuti dari berbagai penjuru oleh orang-orang lapar. Itulah
kenyataan getir di hadapan kita.
Mengapa semua hal di atas bisa
terjadi? Pertama, karena penguasa kaum Muslim di berbagai negeri
Islam justru malah memberikan loyalitasnya kepada negara-negara kafir
imperialis. Bertahun-tahun keadaan itu terus berlangsung dan hingga kini umat
belum juga mampu menghentikannya. Akibat loyal kepada negara-negara kafir itu,
muncul ketergantungan dan bahkan penjajahan. Alih-alih kesejahteraan yang
diperoleh, justru nestapa rakyatlah yang ada. Selain itu, secara imâni,
penyerahan loyalitas kepada kaum kafir memang hanya akan mendatangkan
kenestapaan, penyesalan, dan kegagalan. (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 138–139).
Kedua, akibat ketakaburan umat Islam yang ditunjukkan
dengan ditinggalkannya syariat Allah SWT
dan dicampakkannya keteladanan Rasul. Sikap ini menyebabkan kekuatan,
kebesaran, kehormatan, dan kemuliaan Islam dan umatnya lenyap. Padahal
sesungguhnya kehormatan, kewibawaan, kemuliaan, serta kekuatan Islam hanya
mungkin didapat melalui penerapan dan ketundukan total pada syariat Allah.
Allah SWT berfirman:
]وَِللهِ الْعِزَّةُ
وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لاَ يَعْلَمُونَ[
Padahal al-‘izzah
(kekuatan, kebesaran, kehormatan, dan kemuliaan) itu hanyalah milik Allah,
Rasul, dan kaum Mukmin. Namun, orang-orang munafik itu tiada mengetahuinya. (TQS
al-Munafiqun [63]: 8).
Berdasarkan hal itu, agar umat
Islam di seluruh dunia, khususnya di Indonesia, segera dapat lepas dari
berbagai nestapa, marilah kita terus-menerus melakukan takbir di seluruh bagian
dari kehidupan kita, di setiap saat dan tempat. Sebaliknya, marilah kita
menjauhkan diri dari sikap takabur, yakni sikap sombong di hadapan Allah dengan
mengabaikan firman-Nya, yaitu al-Quran.
Selain itu, kita juga harus
bertasyakur kepada Allah. Tasyakur yang
benar adalah ketika kita menggunakan nikmat hidup kita untuk mengagungkan asma
Allah, menjunjung tinggi syariat-Nya, dan menyayangi hamba-hamba-Nya.
Selain itu, ada beberapa hal
penting yang juga harus kita dilakukan, antara lain:
1. Terus-menerus
menumbuhkan kesadaran bahwa Islam adalah jalan hidup yang akan mengeluarkan
seluruh manusia dari kegelapan dan segenap kerusakan hidup kepada cahaya serta
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
2. Terus-menerus
menumbukan kesadaran bahwa musuh-musuh Islam selalu melakukan tipudaya untuk
menghancurkan keagungan Islam dan memperdaya umatnya.
3. Menyatukan barisan
kaum Muslim agar tidak mudah terprovokasi dan terpecah-belah oleh musuh serta
terus menyuarakan penerapan syariat Islam melalui jalan damai. Diyakini hanya
syariat Islam sajalah yang mampu mewujudkan kesejahteraan bagi semua umat
manusia.
4. Menyatukan
negeri-negeri Muslim dalam kesatuan Daulah Khilafah Islamiyah serta
menyampaikan hidayah lewat dakwah dan jihad ke seluruh dunia.
Terakhir, mari kita renungkan
firman Allah SWT berikut:
]يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللهِ
بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللهُ إِلاَّ أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ
الْكَافِرُونَ() هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ
لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ[
Mereka berkehendak memadamkan cahaya
(agama) Allah dengan mulut mereka, sedangkan Allah tidak menghendaki selain
menyempurnakan cahaya-Nya walaupun orang-orang kafir tidak menyukainya. Dialah
yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al-Quran) dan agama
yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama/ideologi walaupun orang-orang
musyrik tidak menyukainya. (TQS at-Taubah [9]: 32-33). []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar