Di Jepang yang penduduknya mayoritas penganut Shinto atau atheis, para pejabat dan rakyatnya memiliki rasa malu.
Bila berbuat salah langsung menghukum dirinya sendiri. Tidak membiarkan sampai orang lain menegur atau marah.
Sikap hidup yang menjunjung rasa malu ini sudah menjadi habit
(kebiasaan). Malu berbuat salah, khususnya pejabat. Bila merasa gagal
dalam pekerjaan atau tugasnya, langsung melakukan hukuman terhadap
dirinya.
Sudah berapa banyak pejabat tinggi Jepang yang mengundurkan diri?
Karena ia merasa bersalah, dan gagal. Perdana Menteri, Menteri, dan
pejabat-pejabat Jepang, yang merasa bersalah dan gagal, langsung
mengundurkan diri.
Seperti ketika terjadi tsunami belum lama, dan berdampak terhadap
reaktor nuklir Jepang, langsung pejabat setingkat menteri yang
bertanggung jawab dibidang itu, memilih mengundurkan diri.
Sampai-sampai ada yang melakukan bunuh diri, karena merasa malu atas
kesalahan yang mereka lakukan. Begitu tinggi rasa malu mereka. Anak
sekolah yang tidak lulus, dan gagal ujian, ada diantara mereka yang
bunuh diri.
Sikap hidup orang-orang Jepang yang menjunjung tinggi rasa malu itu,
menghasilkan sebuah jalan hidup yang mengubah keterpurukan bangsa Jepang
pasca Perang Dunia II, dan sekarang menjadi negara industri maju.
Di Korea Selatan, di ibukota Seoul rasanya sangat sulit mencari
sampah di jalan-jalan. Kotanya apik dan bersih. Sebersih-bersihnya.
Setiap orang ke mana-mana membawa kantong yang digunakan menyimpan
sampah, dan dibuang di tempat-tempat yang sudah disediakan.
Orang-orang Korea Selatan yang makan di restoran, mereka membersihkan
sisa-sisa makanan mereka dan kotoran yang ada piring-piring mereka.
Tidak perlu menunggu pelayan datang membersihkan kotoran atau sisa
makanan mereka. Ini berlaku dalam kehidupan sehari-hari di Korea.
Tentu, lebih penting lagi dari semuanya itu, hukum ditegakkan
seadil-adilnya. Anak seorang perdana menteri yang terlibat dalam bisnis
dan menerima sogokkan dari Cheibol (konglomerat), dipenjara. Tidak
dilindungi. Itu terjadi atas anak Perdana Menteri Kim Dae Jung, yang
anaknya dipenjara, karena menerima uang dari konglomerat.
Bukan hanya itu, Perdana Menteri Chun Do Hwan, juga dijatuhi hukuman,
karena dituduh korupsi. Hukum ditegakkan bagi siapa saja. Kehidupan
menjadi lebih tertib. Kepercayaan terhadap pemerintah kuat, karena
adanya hukum yang tegak. Terhadap siapa saja. Mereka yang salah
dihukum. Tidak lantas dilindungi. Setiap warga negera memiliki kesamaan
dalam hukum.
Karena itu, Korea Selatan menjadi maju, makmur dan kehidupan
berlangsung dengan tertib, bersih. Bukan hanya dalam bentuk pisik,
tetapi kehidupan tegak diatas sendi-sendi yang diatur dengan hukum.
Belum lama, seorang mantan Presiden Perancis Jaques Chirac, yang
dinyatakan bersalah, dan dijatuhi hukuman dua tahun oleh pengadilan
Perancis. Chirac dinyatakan bersalah oleh pengadilan, karena sewaktu
menjadi walikota menggunakan dana publik untuk kepentingan partai dan
pemilu. Lantas pengadilan menghukumnya.
Kemudian, bandingkan dengan Indonesia, yang 240 juta penduduknya
mayoritas penganut Islam, kehidupannya sangat kotor. Bukan hanya sampah
berserak di mana-mana sepanjang jalan, di sungai-sungai, dan di
sembarang tempat, tetapi kehidupan manusianya sangat kotor.
Memakan makanan dari sumber yang haram. Dari hasil korupsi, menipu,
merampok, berdusta, dan berbagai cara lainnya, yang sangat tidak layak.
Segala yang diharamkan oleh Allah dihalalkan. Mereka tidak pernah
merasa bersalah atas segala perbuatannya. Mereka menikmati hasil
perbuatannya itu.
Belum ada pejabat Indonesia yang mengundurkan diri dari jabatannya
sepanjang sejarah pemerintahan di Indonesia, dan merasa bersalah.
Berapa kali kapal tenggelam? Berapa kali pesawat jatuh? Berapa kali
kereta api tabrakan? Berapa banyak musibah? Tidak ada pejabat yang
mengundurkan diri. Semuanya dapat hidup dengan nyawan.
Belum lama ini, jembatan yang baru dibangun runtuh. Banyak korban
rakyat, akibat dari faktor "human error", tetapi tidak ada yang merasa
bertanggung jawab. Justeru mereka membela diri, dan tidak pernah merasa
bersalah.
Mereka yang sudah jelas-jelas terlibat dalam korupsi masih tetap
duduk dalam pemerintahan. Tidak malu. Tidak ada tanggung jawab moral
(moral responsbility). Tetap menikmati jabatannya dengan fasilitas
jabatan dan gaji. Seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Semuanya itu,
karena mereka sudah kehilangan "sense of humanity", serta hati nurani.
Malah orang-orang yang terlibat dalam berbagai kejahatan, khususnya
yang merugikan rakyat banyak, malah pura-pura sakit, dan dirawat di
rumah sakit, sampai rakyat lupa peristiwanya sendiri.
Gejala ini menjadi fakta-fakta kehidupan di lingkungan bangsa
Indonesia, khususnya para pejabat dan orang-orang yang mempunyai relasi
dengan kekuasaan.
Kasus yang merupakan mega korupsi yang melibatkan tokoh partai
politik, yang kebetulan berkuasa, akhirnya kasusnya di pengadilan hanya
sebagai "gratifikasi", sangat sederhana sekali. Mungkin hukumannya
sangat ringan.
Sebuah sandiwara yang sangat luar biasa. Ini sebuah drama kehidupan
di Indonesia. Drama yang skenarionya sudah disiapkan sejak semula.
Melindungi para koruptor dan para pejahat berkerah putih.
Sehingga, kejahatan di Indonesia yang terkait dengan korupsi yang
melibatkan berbagai kalangan, termasuk kekuasaan itu, tidak pernah
sampai terkuak.
Padahal mayoritas penduduk Indonesia menganut agama Islam. Lalu di
mana Islam? Islam yang diajarkan oleh Rasulullah shallahui alaihi
wassalam itu?
Atau mungkin Islam sudah tidak ada lagi di Indonesia? Hanya tinggal nama saja.
SUMBER : http://www.eramuslim.com/editorial/di-mana-islam.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar